Kiprah NU Dalam Menciptakan Pilkada Serentak 2018 Aman, Damai Dan Bermartabat

Oleh: Ayopri, S. HI*

Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik khusus di Indonesia,  jika 2018 berskala daerah, maka tahun 2019 adalah skala Nasional, sejak mahkamah konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh Effendi Gazali tentang pemilu serentak, di Negara yang menganut asas demokrasi seperti Indonesia harus tidak boleh menafikan pada hal yang bersifat praktis yaitu berpolitik,  karena politik itu adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat, pernyataan lama dari filosuf Yunani tentang manusia menyebut Zoon Politicon, merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial. Kata Zoon Politicon merupakan padanan kata dari kata Zoon yang berarti “hewan” dan kata polIiticon yang berarti “bermasyarakat”. Secara harfiah Zoon Politicon berarti hewan yang bermasyarakat. Artinya manusia itu tidak bisa lepas dari manusia lain untuk bergaul dalam masyarakat (Politik),  Nabi Muhammad SAW, mengajarkan umatnya untuk menjadi manusia bermanfaat bagi orang lain, jadi jelas bahwa berpolitik itu adalah sebuah hal yang lumrah di bermasyarakat, selama kita berdampingan dengan orang lain, maka politik masih menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan, ruang politik bisa jadi sebagai ruang pengabdian kepada masyarakat dan untuk menebar manfaat bagi orang lain.

Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum,  kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya,  artinya perjuangan merubah nasib masyarakat dengan berpolitik adalah sebuah sunnatullah,  seleksi alam dapat terlihat dalam berpolitik yaitu memilih pemimpin yang benar-benar kompeten dan kredibel dan juga profesional menurut selera masyarakat. Era reformasi adalah sebuah angin segar bagi masyarakat Indonesia, karena setelah 30 tahun lebih hak politik di kekang oleh kekuasaan diktator orde baru, dimana kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat dimuka umam di kebiri.  Maka saatnya kita sekarang bangkit mengambil sikap dalam sebuah kekuasaan rakyat yang saat ini juga ada di tangan rakyat,  memilih pemimpin adalah kewajiban masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri di jaman sekarang dan masa yang akan datang.

Berbicara Indonesia maka tidak lengkap rasanya jika tidak mengenal Nahdlatul Ulama’ (NU), karena nama NU sekarang di kancah Internasional merupakan ORMAS yang sangat di perhitungkan, NU bukanlah semata-mata ORMAS yang hanya berbicara dakwah Agama,  NU juga berperan penting dalam kancah politik nasional,  semasa perjuangan melawan penjajah NU juga hadir sebagai pemain dalam yang ikut serta melawan dan mengusir penjajah. Resolusi Jihad adalah bagian perjuangan NU yang di kenang oleh sejarah kebangsaan ini.

Pola pikir yang moderat menjadikan NU dinamis dalam bernegara,  siapa pun yang berkuasa,  NU juga hadir disitu sebagai pendukungnya, tentu selama penguasa tidak melanggar hukum, jika melanggar hukum maka NU paling depan untuk menasehati bahkan tidak jarang NU juga mengeluarkan kritik pedas pada pemerintah apabila ada kebijakan yang bertentangan dengan keadilan.

Mengenal gerakan sebuah kelompok itu harus dilihat dari catatan sejarahnya,  NU terlahir jauh sebelum ada tanda-tanda Indonesia akan merdeka, tahun 1926 adalah tahun resmi NU didirikan, sedangkan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, artinya 19 tahun sebelum Negara ini merdeka NU sudah memiliki taring yang sangat tajam dalam melawan penjajah (berpolitik), kontribusi perjuangan NU pada Negera tidak bisa dihilangkan dalam catatan sejarah, karena NU juga ikut membangun Negara ini sejak awal,  maka dari itu terpatri dalam watak yang cukup lama NU ada rasa memiliki pada Negara ini. NU sangat tidak rela apabila Negara ini di gerogoti oleh tamu yang tidak diundang dan pulang tidak diantar, seperti faham ekstrimis misalnya, mereka hanya bercita-cita menciptakan perang, tapi untuk menciptakan perdamaian mereka tidak pernah tahu.  Perlu di ingat juga,  bahwa kalau persoalan perang NU tidak perlu diajari oleh anak yang baru lahir, sebab sebelum bendera khilafah itu berbicara perang, NU sudah menumpahkan darah para penjajah di negeri ini,  jadi jangan salah dan mengira NU itu mental kerupuk, konteksnya sekarang ini adalah mengisi kemerdekaan dengan memperjuangkan kemakmuran masyarakat, keadilan hukum, dan penanggulangan kemiskinan adalah tugas utama NU dalam bermasyarakat.

Kembali pada persoalan politik,  jelang pilkada serentak tahun depan (2018), beberapa kader NU khusus di Jawa Timur seperti Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) wakil gubernur Jawa Timur,  dan ibu Khofifah Indar Parawansa yang sekarang menjabat sebagai menteri sosial di kabinet kerja pemerintahan Joko Widodo, bertarung secara konstitusional memperebutkan kursi JATIM 1, dari kedua calon adalah musuh lama dalam pertarungan politik Jawa Timur,  tercatat sudah Dua kali Gus Ipul dan ibu Khofifah bertarung di ring politik Jawa Timur,  tahun depan ini adalah kali ketiganya. Sesama kader NU,  Gus Ipul mantan ketua Ansor Pusat dan ibu Khofifah ketua umum Fatayat NU,  tentu sama-sama tahu dalam berpolitik santun dan damai,  itu terbukti dalam dua kali mengikuti pilkada,  para pendukung mereka tidak ada yang sampai konflik dan tidak memakan korban,  bahkan politik berbau SARA (Suku, Ras dan Agama) juga tidak di temukan.  Berbeda dengan PILKADA DKI beberapa waktu lalu yang sarat dengan isu SARA,  menyebabkan aksi demo yang berkepanjangan yaitu 212 dan 414, dan demo kecil sebagai camilannya.  Penilaian saya (penulis)  sangat tepat NU hadir dalam kancah perpolitikan nasional, karena kalau tanpa ada sekelompok orang yang memberikan bimbingan politik kepada masyarakat,  maka yang akan timbul adalah ambisi politik yang tidak terkontrol, dakwah politik tidak hanya memberikan nasehat,  dakwah itu sesuatu yang dapat di tiru, jadi kalau hanya bersifat nasehat sulit orang akan mengikutinya, karena meraka tidak memiliki contoh sebagai pandangan dalam berperilaku politik.

Pemilu itu adalah perebutan kekuasaan yang di bolehkan oleh Undang-undang Negara, jika merebut kekuasaan yang berlawanan dengan Undang-undang maka itu di sebut makar,  Kudeta atau memberotak.  Oleh karena itu di perlukan pendidikan politik yang santun dan bermartabah dalam politik nasional, mendidik secara politik kepada masyarakat yaitu dengan langkah memberikan contoh, karena nasehat di mimbar dakwah tidaklah cukup, mimbar dakwah itu lebih tepat menyampaikan hal-hal keagamaan dan memperkuat keimanan, bukan dengan berpolitik, politik harus dengan tindakan dan gerakan. Maka untuk menciptakan politik yang damai dan aman harus dengan tindakan dan gerakan pula, tentu mengkampanyekan politik guyub, aman damai serta santun.

Selain tingkat propinsi di Jawa Timur, ada daerah tingkat kabupaten yang juga menarik dalam percaturan politiknya,  kabupaten Bondowoso juga tidak mau ketinggalan dalam meramaikan pesta demokrasi tingkat daerah di tahun 2018 mendatang, ada dua calon kuat yang telah sama-sama resmi medeklarasikan pecalonannya, yaitu pasangan Ahmad Dhadir dengan Hidayat, dan pasangan KH. Salwa Arifin dengan Irwan Bahtiar, kedua calon ini juga sama-sama di isi oleh kader NU tulen, kiai Salwa merupakan kiai NU paten di kabupaten Bondowoso, dan Ahmad Dhafir juga merupakan kader NU yang sangat dekat dengan ulama’ semenjak awal dia terjun ke pentas politik jaman PKB baru di rilis oleh GUS DUR. Dengan adanya calon yang sama-sama kader NU di harapkan  dalam pilkada nanti tercipta pemilu yang benar-benar martabat, tidak mengedepankan ambisi dan materi kekuasaan semata, kerukunan dan ketertiban serta kedamaian masyarakat agar jadi tujuan bersama.

Dengan berperilaku politik yang mengedepankan nilai kepesantrenan kader NU di harapkan menjadi tauladan politik bagi masyarakat, dimana tradisi pesantren yang di kenal dengan orang santun akan menjadi terobosan baru dalam khazanah politik Nasional atau bahkan internasional. Semoga..!

 

Foto: Ayopri, S.HI

*Penulis adalah Alumnus STAIN Jember, Pembina Yayasan Islam Nusantara Berkemajuan, Ketua Redaksi Buletin Nusantara, dan Anggota ANSOR Bondowoso

Tinggalkan Balasan