Lucu dan sedikit membuat saya tercengang ketika sahabat muda maulana,aktivis IAIN Jember mengunggah foto di Group tentang selvi-selvi kaum yang mengaku dirinya beragama, tetapi senang sekali kegiatan ritual ibadahnya diumbar kemana-mana termasuk dicitrakan ke ruang publik Maya.-
Keluarga yang meninggal diselfi.
Di makam masih selfie-selfie, bershodaqoh, baca al-Quran, Sholat pun, umroh semua swafoto lalu dikirim ke sosial media. Akhirnya, yang mungkin hanya untuk memburu like atau Jempol dari pembaca dan penikmat sosial media lainnya. Entahlah, benar kata-kata anak-anak muda itu ibadah Jaman Now, ibadahnya mirip selibritis yang tidak lain sebagai bagian dari cara untuk menjaga dan mendongkrak popularitas.
Memang, berlomba-lomba dalam beribadah sangat didorong oleh ajaran Agama Islam. Hal itu termaktub dalam kitab suci dengan bunyi yang paling terkenal adalah fastabikul khairat (berlomba-lomba lah dalam kebaikan). Agar kehidupan ini dapat mendatangkan Rahmat dan Barokah dari Allah yang maha kuasa. Mereka yang Al-Abid (makhluk) hanya memburu pujian dari khaliqnya bukan manusia.
Sebaliknya, yang hidupnya serba dengan Android, ibadahnya kadang tidak lepas dari jepretan kamera. Lalu untuk apa kalau bukan mengharap pujian manusia? Mudah-mudahan asumsi ini salah. Selfi telah meyuburkan konsep Islam tentang riya’ dan ujub kedalam ritual ibadah. Selfi seakan menjadi opium untuk mengobati Dahaga pujian mahluk dan telah menggeser pujian sang khaliqnya. Riya’ dan kawannya Ujub semakin mendapat tempat terhormat dimata selfiwan-selfiwati.
Dulu, pencitraan hanya milik politisi dan penguasa dalam menjaga elektabilitas serta popularitasnya, tetapi saat ini pencitraan itu milik siapa saja yang mencitrakan dirinya, sampai menyangkut ibadah kepada Tuhan. Kini Virus latent selfie telah menggerogoti sebagian pemeluk agama yang lagi demam teknologi android. Kata Bang Roma pesta pasti berakhir, sekarang masih pesta selfie, lucu-lucuan, unik-unikan bahkan alim-aliman, itu lah pesta hasrat duniawi yang menemui puncak kesuburannya dengan area selfie.
Pelan, sunyi, halus serta senyap. Iblis telah merasuk pada teknologi pengapian. Mewujud pada suara dan kamera untuk membujuk rayu manusia kedalam perlombaan-perlombaan gila. Merubah yang sakral menjadi profan, transenden-imanen dan Al-Abid menjadi al-Android. Sifat laten iblis yang serakah, manusia itu diam-diam diikuti, digemari dan digandrungi.
Ini mungkin yang disebut para ustadz itu sebagai fitnah zaman. Android tidak bisa disalahkan karena hanya fasilitas belaka, apa lagi alat itu bermanfaat untuk menambah nilai ibadah.Yang perlu diingat oleh para kaum beragama adalah pemanfaatan android, jangan sampai mengubur ibadah dengan citraan, memendam pahala dengan dosa, memburu surga tapi otak dan tangannya mendekatkan diri pada neraka. Mari saling mengingatkan Agar ibadah kita tidak hanya dapat capeknya, tidak untuk pujian manusia namun menjadi kebanggan tuhan yang maha kuasa.
Refleksi Dasuki Afklarung, Jember (29/11/2017)
*Dasuki Aufklarung Adalah Aktivis PC LTN NU Jember dan dosen tetap IAIN Jember