OPINI  

Pribadi Madura, dan Aturan Masyarakat Madura

Oleh: Makmur Marsya

KABARDAERAH.COM- “Jhe’ akemmie e tanean takok lasengngah ekeding ka amper” maksudnya: “Jangan pernah kencing di halaman takut baunya tercium ke amperan”.

Sepenggal pribahasa nasehat para sesepuh orang Madura yang ditunjukkan kepada anak– anaknya untuk tidak menyalahi aturan yang ada dilingkungannya, dan sedikit ada anjuran untuk keluar jika bermaksud melanggar peraturan yang ada.

Diketahui, di lingkungan masyarakat madura masih lekat dengan adanya adat atau tradisi yang mengikat penuh bagi masyarakat Madura, salah satu aturan yang masih mendarah dan tidak mungkin orang Madura melanggar aturan itu adalah tanggung jawab seorang suami terhadap istrinya yang disandingkan dengan kehormatan.

Di lingkungan madura sendiri rentan melakukan suatu pelanggaran yang sejatinya hanya peraturan turun – temurun dari nenek moyang mereka, padahal jika ditinjau dari ilmu hukum modern peraturan itu masih belum dikatakan sah dan masih bukan termasuk aturan.

Sebab dari praturan tersebut tidak ada pengakuan secara yuridis maupun formal, hanya saja tradisi dan adat peraturan tersebut menjadi sebuah genetik bagi keturunan orang – orang Madura dan sampai kini masih berlaku adanya peraturan tersebut.

Hal ini yang menjadi sebuah pertanyaan di fikiran penulis, siapakah orang pertama kali yang membuat aturan tersebut?, sehingga tanpa adanya perintah dari sang penguasa ataupun pihak lainnya aturan– aturan itu masih ditaati.

Penulis mengajak pembaca untuk berfikir sejenak dan jangan lupa untuk merenungkan darimana aturan itu berasal? Siapa pecetusnya?, di tahun berapa aturan itu dimulai?. Dan ini pertanyaan besar yang mungkin saja tidak kita sadari sebagai orang Madura sendiri. Akan tetapi penulis hanya akan membahas faktornya saja, untuk pertanyaan besar diatas masih dalam studi kasus, ditunggu saja edisi selanjutnya…!!!

Suku Madura terkenal dengan gaya bicaranya yang terang – terangan serta sifatnya yang mudah tersinggung, tetapi menariknya orang Madura terkenal dengan tanggung jawabnya yang sangat mendarah daging, contoh kecilnya pelayar dan nelayan yang mayoritas berasal dari orang Madura.

Mereka yang profesinya berlayar tak pernah terlintas rasa takut, tak terlintas mundur dari deburan ombak yang setiap waktu bisa menelan jiwanya hidup-hidup. Yang ada dalam diri mereka hanya tanggung jawab menafkahi keluarga tidak ingin tahu akan seperti apa nasib dirinya di medan perjuangan tanggung jawab seorang pribadi Madura.

Dari itu terlihat jelas bahwa pribahasa “abhental ombe’ asapo’ angen” bahwa laut adalah rumahnya. Jadi bantalnya angin, dan berselimutkan ombak” adalah karakter pribadi Madura yang sebenarnya, dan mampu mengamalkan ajaran sesepuhnya yaitu: dimana kaki menginjak maka disitu harus meninggalkan jejak.

Mungkin saja orang Madura masih ada hubungan genetik dengan ratu Potre Koneng yang diusir dari kerajaannya lalu berlayar dan menemukan pulau Madura (sebagian cerita mengatakan kawasan tersebut bertempat di Gunung Geger Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan), sehingga pulau Madura dijadikan tempat singganya untuk pertama kali. Dari itu nama Madura tercetus dari penemuan madu dan arang – arang oleh sang ratu.

Kesopanan merupakan faktor utama dari ciri khas masyarakat Madura yang terkenal dengan pribahasa “Bhuppa’ Bhabu’ Ghuru Rato”. jika Ditinjau secar tekstual sudah jelas adanya yang berarti “ Bapak, Ibu, Guru, dan Ratu”.

Dari pribahasa tersebut masyarakat Madura mentransportasikan kearah Kesopanan, Pengabdian, dan kehormatan terhadap figur yang terdapat dalam teks diatas, apalagi di zaman yang sering di katakan bahwa orang madura merupakan sosok “Development Of Society” walau saja hal itu harus melalui pertimbangan yang serius.

Akan tetapi, sejatinya masyarakat madura masih kental dengan aturan kesopanan yang berlaku hingga saat ini. Tujuan orang Madura adalah “dheddhi Oreng” artinya menjadi manusia yang sesungguhnya dengan berpegang teguh terhadap aturan-aturan yang ada.

faktor inilah yang menimbulkan jiwa kesatria seorang pribadi masyarakat Madura. Orang madura yang sudah “Dheddhi Oreng” harus sanggup menaungi dan membantu orang yang tak mampu/miskin/lemah. Tercemin dalam ungkapan terkenalnya: Rampa’ Naong Beringin Lorong.

Seorang atau anak Madura mendapat ajaran “aeng delem ghentong” dari orang tuanya. Maksudnya adalah seseorang harus bisa menjaga atau menghormati adat istiadat/nilai-nilai lokal yang berlaku dan tidak melanggarnya supaya tidak mencemarkan nama keluarga.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang ada dalam masyarakat Madura dan masih melekat dalam jiwa masyarakat Madura dikarenakan tiga faktor diatas yaitu: kesopanan, kehormatan, dan pengabdian.

Faktor tersebut sangat penting perannya dalam menentukan sikap pribadi masyarakat Madura yang terkenal dengan “lebbi beghus pote tolang tembeng pote matah” lebih baik baik putih tulang dari pada putih mata, dan menjadi semboyang bagi masyarakat Madura itu sendiri.

*) Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan, program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Email: [email protected]

Tinggalkan Balasan