OPINI  

Siswa Nakal, Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Oleh : Imam Sya'roni, Guru MTs Nurul Karomah, Paterongan Galis Bangkalan

OPINI-Mutu pendidikan akhir-akhir ini seakan terus digiring pada hal-hal negative, mengingat beberapa kasus yang terjadi pada wilayah pendidikan seringkali melibatkan warga sekolah sebagai korban maupun pelaku tindak kriminal.

Beberapa tindak criminal seakan tidak lagi tabu dikerjakan dalam halaman luas pendidikan. Warga pendidikan baik siswa maupun guru tak ayal semakin cepat dan gencar menjadi bahan perbincangan. Pastinya belum hilang dari ingatan masyarakat terhadap kasus yang terjadi di Sampang Madura ketika salah satu murid ditegor karena tidak mengerjakan tugas oleh gurunya. Merasa tidak terima setelah dicat pipinya akibat dipukul menggunakan absensi (walaupun pukulan ini sempat ditangkis oleh pelaku) pelaku yang tidak lain merupakan siswanya, tega menghujamkan tinju kearah pelipis korban hingga akhirnya membuat nyawa sang guru melayang. Sungguh teragis bukan?.

Tidak hanya di Sampang, ternyata tindakan kekerasan kembali terjadi pada salah satu guru Madrasah Tsanawiyah di Jember. Sang guru yang dipukul menggunakan kursi plastik oleh satu siswanya lantaran tidak terima ketika ditegor main HP saat pembelajaran berlangsung. Oh tuhan!!! Kedua kasus ini sungguh membuat ironis dan menggiring opini bahkan persepsi negative terhadap public yang akhirnya mencoreng nama baik dunia pendidikan sebagai cikal bakal lahirnya generasi penerus bangsa yang diimpikan.

Disadari atau tidak, opini publikpun berkembang dan membentuk beberapa sudut pandang menyikapi problem yang bisa dianggap akut akhir-akhir ini (bahasa kerennya berkubu-kubu). Parahnya, hakim dadakan muncul hingga akhirnya muncul sebuah vonis yang sangat beragam terhadap unsur- unsur yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan. Persepsi saling menyalahkan satu sama lain bermunculan, kelompok satu menyalahkan Guru sebagai pendidik yang diyakini sebagai pencipta karakter peserta didik. Kelompok lainnya kubu lain menyalahkan siswa sebagai produk gagal dalam pabrik yang bernama sekolah. Akibatnya, dunia pendidikan terasa buram dalam kacamata publik.

Tidak terkecuali salah satu opini yang muncul dari pihak wali murid (orang tua), sebagian orang tua berpikir bahwa pendidikan tidaklah menjamin anaknya menjadi orang terdidik yang dapat dibuktikan dengan sikap atau perilaku positif (karakter) yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Parahnya, sang orang tua menilai anaknya tidak lebih baik dari kehidupan orang tuanya setelah menganyam beberapa tingkatan pendidikan.

Belum lagi yang mengembangkan opini lain bahwa pendidikan tidak akan mempengaruhi kehidupan anaknya dikarenakan kesimpulan yang muncul berdasarkan beberpa kasus yang terjadi pada salah satu satuan pendidikan hingga dengan sentimennya memukul sama output pendidikan sebagai produk gagal.

Diakui atau tidak, sekolah hanyalah bagian dari sekian bagian dalam dunia pendidikan, karena nyatanya, selain sekolah, keluarga dan lingkungan adalah sekolah non formal yang memiliki guru yang beragam. Mulai dari orang tua sebagai gurunya dan masyarakat dilingkungan tempat tumbuh kembangnya maupun media lain yang tentu mempunyai guru non formalnya dengan latar belakangnya masing-masing.

Sangat disayangkan apabila salah satu bagian ini yaitu sekolah formal (sekolah pada umumnya) maupun sekolah informal (lingkungan, keluarga, media lainnya) kurang memberikan kontribusi positif bagi tumbuh kembang peserta didik.

Bukan tidak mungkin cita-cita pendidikan yang tertera dalam Jabaran pembukaan UUD 1945 dan Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Tidak akan pernah tercapai.

Ketidaksadaran masyarakat sebagai pemberi kontribusi positif akan semakin menjadikan dunia pendidikan kalang kabut. Sebagai individu yang beragam, peserta didik menjalani proses tumbuh kembangnya dengan pondasi yang berbeda (keluarga, social, agama maupun pendidikan) yang berbeda.

Keberagaman ini tentu tidak bisa ditentukan secara general bahwa dari sekian keragaman ini yang paling bisa mempengaruhi penciptaan karakternya adalah lembaga formal atau yang lainnya. Dengan kata lain, keberagaman ini tentu harus bisa menjadi bagian yang saling mendukung penciptaan karakternya. Menjadi satu kesatuan dalam membentuk siswa yang dirancang dalam kajian kurikulum pendidikan. Oleh karenanya peran masyarakat dan keluarga sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Tinggalkan Balasan