Kediri, Kabardaerah.com- Tan Malaka merupakan sosok yang dirindukan oleh berbagai kalangan, oleh akademisi, mahasiswa, sampai di warung-warung kopi. Jasanya sebagai seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia seakan tidak dapat dilupakan. Juga karena tulisan-tulisannya telah menginspirasi bapak proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno.
Kediri, menjadi salah satu tempat penting karena persinggahan terakhirnya. Sebagai tempat, di mana ia dipaksa meninggalkan muka bumi yang dicintainya. Kematiannya menunjukkan pada dunia bahwa perjuangan yang ia lakukan sampai titik darah penghabisan. Pembicaraan mengenai sosok yang dinobatkan sebagai Bapak Republik ini seakan tidak pernah ada habisnya. Kiprah serta buku-buku karyanya terlalu banyak dan menginspirasi bangsa ini.
Direktur Tan Malaka Institut, Taufiq Al Amin bersama dengan para pegiat literasi dan intelektual di Kediri bermaksud mengabadikan kiprah Tan Malaka dengan cara mengadakan dialog kebangsaan. Taufiq menyampaikan bahwa acara ini tidak lain adalah salah satu cara menolak lupa atas jasa besar Tan Malaka untuk bangsa Indonesia dan sekaligus menyongsong Hari Pahlawanl 10 November. “Tan Malaka adalah sosok pahlawan kemerdekaan yang sedikit banyak terlupakan,” ungkapnya saat memberikan sambutan pembukaan dialog kebangsaan VII Tan Malaka Institut, Kamis (9/11/2017).
Tiga narasumber nasional didatangkan pada acara di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri itu. Mereka adalah anggota DPR RI Kahtibul Umam Wiranu, guru besar Universitas Indonesia (UI) Prof. Zulhasir Nasir, dan wartawan senior Tempo Dwijo Utomo Maksum. Dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi Harianindonesia.id.
Pembicaraan awal dimulai oleh Khatibul Umam Wiranu. Tidak banyak yang disampaikannya. Ia menyinggung tentang perjuangan Tan Malaka yang lebih sulit dibandingkan perjuangan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim kala itu. Alasannya, Tan Malaka berjuang dengan sedikit pengikut, sedangkan kedua Tokoh NU itu berjuang dengan banyak pengikutnya. “Sebenarnya kasihan Tan Malaka itu, juga menjomblo sampai akhir hayatnya,” ungkapnya disambut tepuk tangan meriah audien.
Dilanjutkan narasumber berikutnya, Prof. Zulhasir Nasir yang menjelaskan tentang perjalanan hidup Tan Malaka. Mengenai latar belakang hidup, tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, sampai menyangkut soal ke-komunisan Tan Malaka. Menurutnya membaca sejarah adalah sebuah keharusan untuk dilakukan setiap orang. “Jika Soekarno menyarankan jangan lupakan sejarah, saya menyarankan bacalah sejarah!”, tegas Profesor kelahiran Minangkabau itu.
Profesor berstatus guru besar UI tersebut juga memberikan statement tentang status ke-komunisan Tan Malaka. Ia mengatakan bahwa Tan cenderung pan-Islamisme seperti HOS Tjokro Aminoto dari pada penganut komusisme. “Tan Malaka bukan lah sosok yang komunis”, tegas Profesor yang kemudian mengundang kontroversi oleh narasumber ketiga, Dwijo Utomo Maksum sebagai sosok yang berperan sebagai editor buku Tempo yang berjudul ‘Tan Malaka: Bapak Republik yang Terlupakan’.
Pria yang sering disapa Pak Dum ini juga salah satu orang yang melakukan investigasi menjelajahi jejak Tan Malaka sampai menemukan tempat jasad sang pahlawan itu disemayamkan. Ia bercerita tentang proses pencarian jejak Tan Malaka di Kediri. Ada satu orang tua yang menurutnya begitu penting dalam menunjukkan kisah dibunuhnya sosok Tan dengan posisi tangan terborgol dibelakang. Orang tua yang pada saat itu masih berumur tujuh tahun. “Bagaimana tidak sulit? Orang dipaksa menggali ingatan masa kecilnya kembali,” ungkapnya.
Tidak sepakat dengan Profesor UI, Pak Dum menyatakan bahwa banyak orang yang cenderung menyamakan antara komunis dan ateis. Komunis dan ateis merupakan dua hal yang sangat berbeda menurutnya. Komunis tidak kemudian dia secara otomatis dia menjadi ateis. “Tan Malaka itu komunis, namun dia juga Islam. Dia itu hafal Qur’an bro, masak ateis. Juga para tokoh-tokoh PKI adalah para tokoh agama”, ungkap Pak Dum.
Setelah dialog diakhiri, acara dilanjutkan dengan bersama-sama berziarah ke makam Datuk Ibrahim Tan Malaka yang berada di Selopanggung Kediri. Membaca tahlil dan do’a bersama yang ditujukan kepada sosok Tan Malaka.
Reporter: Isnan Elsam