Benarkah Carok Budaya Madura atau Hanya Pembelaan Diri dalam Keadaan Terpaksa

Foto: Abd Muis Syakur

Oleh: Abd Muis Syakur*

Madura, itu lah sebuah pulau yang terletak di deretan Pulau Jawa. Tepatnya di Jawa Timur yang dikenal di indonesia sebagai Suku Bangsa yang keras, pemberani, tidak pantang menyerah dan yang sering didengungkan oleh orang-orang adalah mempunyai sebuah budaya lokal yang tidak bisa dihilangkan dari kehidupan masyarakat di Madura, yaitu “carok”.

Hemmm, “C,A,R,O,K”, lima huruf yang identik dengan pertumpahan darah dan tidak menutup kemungkinan bisa mengantarkan ke liang kubur, alias mati. Sungguh mengetuk terhadap sanubari hati dan merinding ketika mendengar istilah “Carok” yang tidak lepas dari senjata tajam seperti, todik (pisau), arek (celurit) pedang, parang dan banyak jenis nama senjata tajam yang digunakan. Mengerikan bukan?

Namun sempat terfikir dalam diri saya, benarkah Carok itu adalah budaya Madura, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Madura? Atau carok itu bukan budaya, melainkan dalam waktu terkekang, terhimpit dan terpaksa saja istilah carok bisa digunakan?

Masyarakat luar Madura menganggap bahwa Carok adalah budaya orang Madura. Bapak “SAKERA” salah satu sosok figur yang dijadikan acuan dalam menyebut Carok sebagai budaya orang Madura. Sehingga tidak jarang ketika berkumpul dan berbincang-bincang dengan mereka, maka mereka sering bilang, ampun kang, jangan dicaroki kita, hehe…sambil senyum mereka. Secara tidak langsung bahwa Carok adalah sebuah kata yang menakutkan kepada mayoritas orang di luar Madura.

Sedikit menilik sejarah pemerintahan kolonial belanda yang berkuasa selama 352 tahun, penduduk Bangsa Indonesia dijadikan babu, dirampas semua kekayaan yang dimiliki serta dipaksa untuk menjadi buruh gratis dengan hadiah kekerasan. Sampai-sampai tidak sedikit yang harus hilang nyawanya. Mereka yang bisa hidup tenang dan sejahtera adalah klompok atau golongan feodalisme yang tunduk akan sistem yang diberlakukan oleh pemerintah hindia belanda.

Masyarakat Madura yang umumnya dikenal oleh belanda sebagai masyarakat yang pemberani dan bisa ilmu bela diri dijadikan alat oleh cukong-cukong dan juragan tanah. Tidak sedikit juga dari mereka diadu domba oleh belanda untuk cekcok dan bertengkar sesama ras dan suku sendiri menggunakan senjata tradisional seperti clurit dan lain lain.

Sakera, pada waktu itu yang dianggap oleh belanda sebagai pemberontak, melakukan gerakan melawan kesewenang-wenangan belanda dengan senjata tajam yang dimilikinya. Ketika bertarung melawan musuh yang menjadi bandiet belanda, Sakera dengan ilmu kanuragan, bela diri, serta sebuah celurit andalan yang dimilikinya membuatnya hebat bertarung. Dalam pertempuran yang dijalaninya, banyak korban yang berjatuhan dan kalah melawannya.

Pada suatu kejadian, istri Sakera terdengar maen serong dengan adik Sakera sendiri. Sakera kemudian mengetahui bahwa Istri tersayangnya berselingkuh dengan adik kandungnya. Percekcokan pun terjadi dan mengantarkan terhadap perkelahian menggunakan senjata tajam milik masing-masing. Akhirnya adik sakera tersebut meninggal. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kematian dari adek Sakera bukan karena clurit milik Sakera, namun karena terperosok dalam jurang yang sengaja dibuatkan jebakan oleh tentara Belanda.

“Dari pada pote matah, lebih baik pote tolang” (dari pada malu lebih baik mati). Kalimat  ini lah yang dikenal oleh masyarakat Madura dan Indonesia sebagai salah satu slogan yang menjadi dorongan dan kewajiban bagi orang Madura untuk melakukan pertumpahan darah. Selalu dikaitkan dengan istilah carok.

Apakah benar? Ketika melihat sedikit sentilan sejarah di atas, bahwa carok bukanlah sebuah budaya ataupun tradisi yang menjadi kebanggaan bagi masyarakat Madura.

Diakui atau tidak, Masyarakat Madura juga cinta perdamaian, keramahan serta saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Selain itu, jiwa tretan (persaudaraan) sangat lah dijunjung tinggi oleh sebagai masyarakat Madura. Karena Madura juga dikenal sebagai tanah pesantren, Ulama dan Kiai sangat dihormati juga dijadikan rujukan dalam urusan spiritual, moralitas dan etika.

Maka perlu dipertegas kembali oleh kita, bahwa carok bukanlah sebuah tradisi kebanggaan masyarakat Madura, melainkan sebuah pembelaan diri dari masyarakat Madura terhadap harga diri, keluarga, harta dan lain lain. Karena pada dasarnya manusia mempunyai hak untuk dihotmati dan dihargai serta berkewajiban untuk menghormati dan menghargai satu sama lain.

“Lakonah, lakoneh, kennengah, kennengen.” Inilah selogan yang dijunjung tinggi dan yang diajari oleh sesepuh, orang tua dan para tokoh Madura. Maka istilah carok sesungguhnya adalah sebuah kata yang sering digunakan oleh masyarakat Madura dalam sebuah keadaan yang memaksa dan terdesak.

Kenapa demikian? karena membela diri, keluarga, agama, dan harta yang dimiliki adalah perintah agama yang harus diperjuangkan oleh masyarakat Madura. Maka tidak heran kalau masyarakat Madura berani walaupun harus nyawa jadi taruhannya. Hal ini dibuktikan oleh Sakera dan pejuang bangsa ini melawan belanda yang dikenal bengis dan tidak berprikemanusiaan.

Oleh karenanya, Clurit adalah senjata khas orang Madura, carok bukanlah budaya, melainkan sebuah kata yang digunakan dalam keadaan terpaksa dan tertekan. Selama musyawaroh masih bisa melahirkan solusi, maka carok adalah cara terakhir. Termasuk apabila hukum negara tidak bisa ditegakkan, maka hukum adat pun akan menjadi salah satu langkah terakhir dalam menyelesaikan masalah.[]

*Penulis adalah Praktisi Blatir Muda di Bangkalan.

Tinggalkan Balasan