Buku Jalan Panjang Penderita HIV/AIDS itu, Diselaraskan Oleh Taufiq Wr. Hidayat

Banyuwangi.kabardaerah.Com-, Cak Gareng biasa ia memperkenalkan diri, seorang pemuda yang hidup sengaja menjauh dari keluarganya, sejak di vonis positif terjangkit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immuno Deficiency Syndrome).

Pergi bersama virus yang dideritanya, mempunyai misi kemanusiaan untuk mengabarkan tentang kegigihan dalam memerangi respon negatif mengenai penyakitnya. Hingga menghasilkan sebuah karya buku tentang perjalanan panjangnya.

 

Barangkali Nelson Mandela sadar, kemerdekaan tidak pernah jatuh dari surga. Melainkan diraih, diperjuangkan, bahkan direbut. Ia menamai catatannya “long walk to freedom” (Jalan panjang kemerdekaan). Dan jalan panjang itu tak pernah mudah.

 

Bagaikan jalan panjang kemerdekaan, Gareng Widjianto pun menempuh jalan panjang mengelilingi Nusantara, mengabarkan kenyataan dan mencatat kesaksian. Tak ada jalan panjang yang mudah. Jalan selalu dibakar matahari, dicekam dingin malam dan marabahaya, kegaduhan, juga sunyi yang tak kunjung dimengerti.

Kesaksian tak pernah mati. Iwan Fals mengatakan dalam lagu. Meski sang penyaksi tak abadi. Kesaksian abadi, menyala dalam sunyi, membakar jiwa, menerangi kegelapan. Catatan jiwa yang menyindir sejarah.

“tercatat di relung jiwa
menjadi bara membara

menjadi benih yang murni”

(Lagu buat Penyaksi, Iwan Fals, Kantata Samsara, 1998)

Bagi WS. Rendra, kesaksian harus dilakukan untuk mengeritik sejarah yang jumud, menjaganya tetap di jalan kemanusiaan. Penjagaan sebagai upaya wajar, pun perlawanan. Kesaksian menggema dengan lagu, sastra, monumen, apa pun. Dan Gareng Widjianto memilih medium kesaksiaannya dengan teks. Sebagai penanda, mengabadikan ingatan. Perlawanan terhadap lupa. Mengekalkan yang kelak dapat dilupakan.

“Orang-orang harus dibangunkan
Kenyataan harus dikabarkan
Aku bernyanyi menjadi saksi”

(Kesaksian, WS. Rendra, Kantata Takwa, 1990)

Kesaksian adalah upaya dari harapan wajar manusia, harapan yang tumbuh dari relung kemanusiaan yang lembab dan sepi. Agar “hidup bersama harus dijaga/hidup yang layak harus dibela”.

Kesaksian seringkali bukan narasi besar. Tapi tanpanya, sejarah cuma berisi omong kosong dan lupa. “Narasi kecil” itu menggerakkan sejarawan India, Urvashi Butalia, menulis “The Other Side of Silence”. Ada korban yang tak boleh dilupakan atas tegaknya sebuah bangsa.

Kesaksian keluar dari sang korban, yang tertimpa, martir. Tapi, Gareng tak hendak jadi martir. Ia hanya mencatat perjalanan selama dua tahun lebih mengelilingi Indonesia dengan jalan kaki, menjenguk para terinfeksi HIV/AIDS, memeriksa keadaan dengan tubuh yang juga terinfeksi. Apakah keadaan baik-baik saja? Apakah penanganan terhadap yang terinfeksi tak mengingkari kemanusiaan? Apakah negara hadir di sana?

Buku yang di selaraskan langsung oleh Taufiq Wr. Hidayat itu, berisi catatan Gareng selama mengunjungi 30 Provinsi dan 115 kota dengan jalan kaki. Ia abadikan jam, hari, tahun, tanggal. Ia mengisahkan kawan-kawannya dalam perjalanan itu. Ia bercerita apa adanya. Ia menulis dengan jenaka, tak henti-henti menertawakan dirinya sendiri atau peristiwa yang mengusik kewajaran. Bagai upaya terakhir dari sebuah perlawanan. Tetapi tajam! Menyusup tepat di jantung kemanusiaan.

Dalam perjalanannya, Cak Gareng menyampaikan pesan anti diskriminasi. Ia mengingatkan bahaya HIV/AIDS, mengajak siapa pun mencegah penularannya (red, HIV/AIDS). Ia menemui Mahasiswa, Pelajar, Pejabat, Gelandangan, Aktivis, Siapa saja. Ia hanya ingin mengatakan, “jangan ada diskriminasi pada para terinfeksi, sesama manusia yang punya hak dan harapan yang sama”.

Dalam buku ini, tergambar upaya manusia melawan keterbatasannya, dan semangat adalah energi semesta. Dengan semangat itu, penulis buku ini (red.Cak Gareng) memenangkan tiap pertarungan melawan segala kemustahilan keadaan. Ia lolos secara mengejutkan dari suatu “Jebakan Hidup” yang nyaris tak mungkin bisa diatasi banyak orang. Kejadian itu, saya rasa mukjizat Tuhan dalam diri Gareng. Ia meyakinkan, baginya semua orang dapat melakukan apa yang sudah ia lakukan, berbekal semangat dan keyakinan pada kuasa-kasih Tuhan.

Tak hanya semangat melawan infeksi virus mematikan dalam tubuhnya, Gareng menyalakan semangat persaudaraan dan kebersamaan. Ia menyadarkan kita, jiwa memiliki kekuatan menakjubkan melampaui tubuh: manusia tidak akan dikalahkan virus! Tapi, Gareng bersedih; kenapa justru manusia harus dikalahkan diskriminasi? Pertanyaan itu bagai sebilah pisau ke dada kita.

Ia hendak berbagi hidupnya dengan kita. Ia melawan pengucilan dengan kebaktian yang sebisanya ia lakukan, juga sambil tertawa lucu, dengan daya-upaya membunuh putus asa. Keputusasaan yang lebih mematikan daripada virus. Ia berbagi dalam kesempitan, dalam segala keterbatasan. Semangat dan jejaknya menjelma daya hidup menyala-nyala. Ia bagai cermin agung dengan langkah-langkah kecil yang kokoh, wajar, dan tak berkeluh-kesah. Ada cahaya bagi yang sakit maupun yang sehat. Bahwa tiap keadaan dan harapan untuk hidup wajar harus diperjuangkan, dibela, dan dijaga. Tak lain!

Dan Gareng mengabarkannya kepada seantero seluruh negeri.

Untuk semua itu, ada proses panjang yang harus ditempuh sepenuh hati. Hingga rasanya, hidup ini masih sangat berarti untuk dijalani, disyukuri, dihidupkan, dan dibayar lunas dengan berbagai harapan.

Reporter : Faizal Lenggi

Tinggalkan Balasan