Menjaga Kerukunan di Tahun Politik

(Opini) BONDOWOSO.KABARDAERAH.COM-  Selamat datang tahun politik. Permulaan tahun politik di Bondowoso tahun ini sudah dimulai dan bahkan sudah usai, yaitu politik tingkat desa. Dengan diselenggarakannya pemilihan kepala desa serentak, tepat pada tanggal 13 Desember 2017. Sudah juga dilaksanakan pelantikan Kepala Desa oleh Bupati Bondowoso Amin Said Husni di pendopo. ada 20 orang kepala desa yang telah resmi mendapat SK pengangkatan dari Bupati. Penulis mengucapkan selamat kepada seluruh kepala desa, semoga amanah dalam mengemban mandat rakyat.

Tahun 2018 mendatang merupakan tahun politik daerah tingkat satu dan daerah tingkat dua. Pemilihan kepala daerah Gubernur dan Bupati serentak di seluruh Indonesia. Bondowoso tidak ketingalan. Sebagaimana tulisan penulis pada tanggal 06 Desember 2017 lalu yang dimuat oleh Kabardaerah.com, berjudul “Warna Politik Bondowoso” ada tiga bakal calon yang telah menyatakan siap dalam pertarungan politik di Bondowoso, yaitu Ahmad Dhafir dengan Hidayat, Salwa Arifin dengan Irwan Bahtiar, dan juga Supriyanto yang di kabarkan berpasangan dengan Hasyim Hosnan. Namun deklarasi pasanga Supriyanto dengan Hayim Hosanan masih belum terdengar ke publik. Dari ketiga bakal calon itu yang akan meramaikan kontes perebupan kursi Bondowoso satu tahun depan.

Jaman sekarang politik adalah kebutuhan. Jangan alergi berbicara soal politik, atau memilih Golput (tidak mencoblos)  dalam pemilihan. Politik itu adalah perebutan kekuasaan yang sah diatur oleh konstitusi kita. Artinya, perebutan kekuasaan yang sah dan dibenarkan oleh Undang-undang. Jika jaman dahulu dalam merebutkan kekuasaan dengan pertumpahan darah dan peperangan, maka sekarang telah ada mekanismenya sendiri yaitu dengan Pemilihan Umum (PEMILU). Memang telah menjadi fitrah manusia dalam Berserikat dan Berkumpul, dan Menyatakan pendapat bahkan menentukan pilihan, dalam sebuah Negara yang berdaulat.

Pilkada Jawa Timur tahu depan ini akan sangat seru, kenapa? Karena kedua calon seperti Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan ibu Khofifah Indar Parawansa keduanya merupakan kader NU yang sangat di hargai dalam tubuh NU, secara peta politik kedua calon tersebut dipastikan akan merebut suara NU Jawa Timur, Bondowoso juga demikian mengalami fenomena politik yang sama, dari kedua calon yang sama-sama kader NU yaitu Ahmad Dhafir dan KH. Salwa Arifin tentu akan saling merebut suara NU secara politik, suara masyarakat NU sangat menentukan keterpilihan para calon, NU secara kelembagaan memang lepas dari politik praktis (baca Khittah NU), namun warga NU juga tidak di larang dalam menentukaan pilihan dalam politik, karena hal itu merupakan dukungan NU dalam bernegara dan berbangsa. Negara kita mewajibkan atas seluruh warganya untuk menentukan pilihan tidak terkecuali dari ORMAS (Organisasi Masyarakat) manapun. Yang jelas Negara tidak menyukai ORMAS yang anti terhadap PEMILU, jika hal itu ada, maka mereka tidak mengakui adanya Negara demokrasi, karena kahir-akhir ini sangat ramai kampanye anti demokrasi, Negara yang menganut demokrasi dianggap thaghut (penyembah berhala) / kafir, dalam pandangan mereka, maka sangat tepat pemerintahan Joko Widodo membubarkan ORMAS Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena mereka bercita-cita mendirikan Negara transnasional di bawah khilafah islamiyah, secara jelas HTI juga menolak Pemilihan Umum (Pemilu), kesimpulan saya (penulis) apabila secara organisasi menolak pemilu tentu mereka juga akan GOLPUT. Sedangkan NU dalam Khittah-nya tidak demikian, NU sangat cinta tanah air yang mana memiliki Slogan “ hubbul wathon minal iman” artinya cinta tanah air bagian dari iman,  dan NU sangat cinta NKRI dan pancasila, walaupun secara  kelembagaan NU tidak berpolitik, namun lagi-lagi kader NU di bolehkan menentukan dipilih atau memilih secara politik.

Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilihan Umum yang diadakan sebanyak dua kali yaitu pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante (Sumber: Situs KPU ).

Sejak berdirinya negara Indonesia, Bapak Hatta telah memikirkan untuk segera melakukan pemilihan sesuai maklumat X tanggal 3 November 1945. Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak tidak 2 (dua) hal 1). Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu, 2). Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih adanya ancam dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh penataan kedaulatan negara.

Pemilu tahun 1955 memilih 257 anggota DPR dan 514 anggota konstituante (harusnya 520 anggota, namun irian barat memiliki jatah 6 kursi, tidak melakukan pemilihan) dengan 29 jumlah partai politik dan individu yang ikut serta. Pemilu ini dilaksanakan pada pemerintahan perdana menteri Burhanuddin Harahap, setelah menggantikan Perdana Menteri Ali Sastromidjojo yang mengundurkan diri.

Pemilu 1955 terbilang sukses namun akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.

Setelah pemilu pertama tahun 1955, Indonesia baru melakukan pemilu kembali pada tanggal 5 Juli 1971, pertama di jaman Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Kedua Indonesia, Bpk (alm) Soeharto. Pemilu pada periode ini, dilakukan setiap 5 tahun sekali, mulai tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 dengan 3 peserta yaitu Golongan Karya (GolKar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peserta pemilu kali ini lebih sedikit dibanding pemilu sebelumnya. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Dalam setiap kali digelar pemilu, partai golkar selalu menduduki peringkat pertama perolehan kursi di DPR dengan meraih lebih dari 62% suara dalam setiap gelaran pemilu, diikuti oleh PPP dan terakhir PDI.

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Pemilu ini dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II.

Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama sejak zaman orde baru runtuh dan dimulailah era reformasi di Indonesia. Setelah tahun 1999, Indonesia pun kembali melakukan pemilu setiap lima tahun sekali secara langsung. Bahkan pemilu 2004 merupakan pemilu pertama kali di Indonesia dimana setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, dapat memilih langsung presiden dan wakilnya selain pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD tingkat II. Selain itu, sejak pemilu 2004, juga dilakukan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada pemilu tahun 2004 dan 2009, ditetapkan parliamentary threshold (PT) sebesar 2.5%. Apabila partai politik yang memperoleh suara dengan persentase kurang dari 2,50% tidak berhak memperoleh kursi di DPR.

Begitulah cuplikan sejarah panjang pemilu yang telah di lalui oleh bangsa ini, semoga sejarah panjang ini menjadikan seluruh masyarakat Indonesia sadar akan politik bukan sebaliknya kaget dalam berpolitik, yaitu merasa sok jago dalam berpolitik lalu sukan mendiskreditkan lawan politik ujung-ujungnya menciptakan black campaign (kampanye hitam) menjelekkan lawan politik atau fitnah politik.

Dalam politik yang akan tampak adalah perbedaan pandangaan dalam pemilihan, karena masing-masing memiliki calon yang di unggulkan, perlu diingat, bahwa pemilihan umum itu terselenggara lima tahun sekali, yang artinya hal yang sudah lumrah dalam kehidupan berbangsa, pemilu pertama di Indonesia di selenggaralkan pada tahu 1955 pada masa pemerintahan Soekarno Hatta, saya (penulis) pada saat itu masih belum lahir, mungkin saja pada saat pemilu pertama di selenggarakan bagi masyarakat Indonesia merupakan hal yang baru, namun pada tahun 2017 ini, kata PEMILU bukan lagi hal yang baru, bahkan saya (penulis) sejak usia desawa telah mengalami tujuh kali proses mencoblos, yaitu pemilu tahun 2004 sebagai awal saya ikut dalam pemilihan, kemudian tahun 2009, dan tahun 2014, di tambah pemilihan kades selama tiga kali. Yang artinya bagi saya pribadi Pemilu bukan lagi hal yang baru dan saya tidak merasa kaget diadakannya PEMILU di tahun 2018 dan 2019 yang akan datang. Saya setiap memilih sorang calon jangankan orang lain, saudara sendiri tidak tahu siapa yang saya pilih, artinya apa, saya secara  pribadi mengakui bahwa PEMILU itu di langsungkan secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) & JURDIL (Jujur dan Adil). Itu sebabnya saya tidak memiliki musuh secara politik, karena saya Pribadi tidak pernah mencaci maki pilihan orang lain, soal pilihan beda itu hal biasa, tidak perlu konflik  yang tidak ada substansinya, hanya persoalan pilihan.

Teringat perkataan Gus Mustofa Bisri, “beda tuhan saya di musuhi, sekarang tuhannya sama masih di musuhi karena beda nabi, sedangkan nabinya sama juga masih di musuhi karena beda mazhab, sekarang mazhabnya sama masih di musuhi karena beda politik, sekarang politiknya sama masih juga di musuhi karena beda pendapat, sekarang pendapatnya sama masih juga di musuhi karena beda pendapatan, lalu aku harus bagaimana?”. Sangat menyentuh perkataan Gus Mus diatas, teryata persoalan perbadaan itu bukan persoalan pilihan saja, permusuhan itu di sebabkan karena perbedaan orientasi saja, ujung-ujungnya adalah perbedaan pendapatan saja, yang jadi korban masyarakat awam yang tidak tahu menahu permainan elit diatas dalam perpolitikan. Semoga tulisan ini manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan menjadi sebab akan kesadaran politik dalam berbangsa yang mempunyai adat ketimuran.

*Penulis :  AYOPRI

  1. Alumni STAIN Jember, Pembina YAYASAN ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN,Sekretariat Dusun Sletreng RT 04 / RW 02, Desa Kupang, Curahdami, Bondowoso
  1. Ketua Redaksi Buletin NUSANTARA
  2. Anggota ANSOR Bondowoso

 

Tinggalkan Balasan