OPINI  

SABAR Ber-JAS HIJAU

BONDOWOSO.Opini,KABARDAERAH.com-Tulisan ini, saya (penulis) persembahkan kepada seluruh masyarakat Bondowoso yang dalam waktu dekat akan meramaikan pesta demokrasi politik Pemilu Kada 2018, atau dikenal dengan pemilihan kepala daerah yaitu pemilihan Bupati dan Wakil Bupati periode 2018-2023. Sebetulnya tulisan yang senada tentang kontestasi politik Bondowoso telah saya singgung di berita online kabardaerah.com berjudul “Peran NU Dalam Menciptakan Pilkada Serentak Yang Aman Damai Serta Bermartabat” edisi 3/12/2017, dan tulisan saya terkait fenomena politik di kabupaten Bondowoso berjudul “Warna Politik Bondowoso” edisi 6/12/2017.

Tulisan ini saya terinspirasi dari sebuah buku yang ditulis oleh Quriash Shihab berjudul “Sunni Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah?”. Dalam buku itu Quriash Shihab mencoba secara konsep tual tentang kemungkinannya menyatukan antara faham Sunni (ASWAJA) dengan fahan pecinta Ahlul Bait atau dikenal dengan aliran Syi’ah. Mengingat pentingnya pembahasan tentang ajakan mengikuti politik aman, damai, maka tulisan ini sengaja saya susun agar julukan kota santri yang melakat pada kabupaten Bondowoso bukan hanya selogan semata.

Memang menyatukan sebuah perbedaan itu bukan hal yang mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan, atau hanya kita berucap abakadadbra atau simsalabim, peristiwa sekejab itu hanya ada  dalam ilmu sulap dan itu hanya permainan visual saja bukan dunia nyata, yang dapat merubah keadaan dalam sekejab hanya Allah Swt, tuhan semesta alam, yang maha kuasa, yang maha berkehendak, dengan berfirman kun fayakun jika berkehendak, namun konteks bersosial dan berpolitik gusti Allah Swt, mengehendaki proses dan di pasrahkan kepada mahluknya untuk melakukan proses.

Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Qs. Ar-Ra’d, 13:11)

Dalam isyarat ayat diatas, Sekali lagi Allah Swt, yang maha berkehendak, dalam persoalan politik menyerahkan sepenuhnya kepada manusia sendiri untuk melakukan pergantian kepemimpinan, baik itu dengan cara musyawarah atau PEMILU.

Pemilukada Bondowoso, berdasarkan pantauan penulis suhu politik hingga detik ini masih tergolong stabil, belum menunjukan tanda memanas yang begitu berarti. Mungkin karena masing-masing pasangan calon masih disibukan dengan memperjuangkan rekomendasi pencalonannya dari DPP Parpol pengusung masing-masing, pasangan calon Dahafir-Dayat kemaren 6/1/2018 telah menyatakan secara resmi bahwa telah mengantongi rekomendasi dari Parpol pengusung yang terdiri dari tujuh partai yaitu PKB, GOLKAR, NASDEM, HANURA, GERINDRA, PAN  dan DEMOKRAT. Data ini sesuai dalam pantauan penulis di akun facebook  resmi milik PKB Bondowoso, dalam unggahan akun facebook PKB Bondowoso telah secara resmi memajang logo ke tujuh parpol pengusung. Dipihak lain kubu pasangan Salwa Arifin dan Irwan Bahtiar, juga telah resmi mendeklarasikan pencalonannya di Gelora Pelita Bondowoso pada hari Kamis 4/1/2018, acara  tersebut di hadiri puluhan Kiai dan Habaib juga sekitar lima ribu simpatisan pendukung yang siap memenangkan pasangan tersebut. Sedangkan Supriyanto dan Hosnan yang dahulu di gadang-gandang juga akan maju menjadi poros tengah, dalam pantauan penulis meraka telah mundur, dan lebih mendukung pasangan Dhafir-Dayat, mungkin karena satu alasan yaitu minimya jumlah kursi pendukung di legislatif sehingga Mas Supri memilih mundur, selain itu karena DPP PPP memilih merekomendasi Kiai Salwa daripada lora Hosnan berpasangan dengan Irwan Bahtiar selaku kader PDIP, jadi pasangan kiai Salwa Arifin dan Irwan Bahtiar secara resmi telah megantongi rekom dari DPP PPP dan PDIP.

Kontestasi politik yang ada di Bondowoso sama persi dengan kontestasi politik yang ada di tingkat propinsi Jawa Timur, yang mana kedua kandidat calon sama-sama berasal dari kader NU tulen, seperti Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan ibu Khofifah Indar Parawansa, sedangkan di Bondowoso pertarungan antara kader muda NU Ahmad Dhafir dengan kiai Salwa Arifin selaku tokoh senior NU, jadi jelas antara  tingkat proponsi Jawa Timur dan tingkat kabupaten Bondowoso sama terjadi pertarungan KAUM IJO dalam politik, atau lebih dikenal dengan pertarungan politik kaum santri.

Fokus pada kontestasi politik kabupaten Bondowoso, SABAR adalah slogan kepanjangan dari pasangan SALWA ARIFIN dan IRWAN BAHTIAR, sedangkan JAS HIJAU kepanjangan dari (Jangan Sekali-Kali Melupakan Jasa Ulama) adalah slogan yang diusung oleh pasangan AHMAD DHAFIR dan HIDAYAT, pak Dhafir memilih slogan JAS HIJAU jauh sebelum mendeklarasikan diri berpasangan dengan HIDAYAT selaku wakilnya di ajang PILBUB kali ini, adapun tujuannya, adalah untuk mengikuti langkah para ulama dalam berpolitik dan dalam memperjuangkan bangsa ini untuk meraih kemakmuran dan kesejahteraan.

Kalau kita telisik pada sejarahnya, sebetulnya antara Dhafir dan kiai Salwa merupakan persaingan antara guru dan murid, persaingan antara senior dan junior, kiai Salwa selaku kiai sepuh NU yang disegani dan di tokohkan oleh seluruh masyarakat Bondowoso, beliau dikenal sebagai pejabat yang bersih selama menjadi wakil bupati dari bapak Mas’ud dan wakil bupati dari bapak Amin Said Husni, dan dapat dijadikan tauladan dalam kepemimpinan di Bondowoso. Sedangkan Ahmad Hafir marupakan santri alumni ponpes Sidogiri Pasuruan Jawa Timur, dia terjun ke politik semasa PKB jaman Gus Dur, awalnya seorang Dhafir adalah merapat kepada kiai-kiai sepuh termasuk kepada kiai salwa untuk belajar politik dan ke-NU-an.

Sekarang pak Dhafir dan kiai Salwa di takdirkan harus berkompetisi memperebutkan kursi Bondowoso satu, tantu dalam bersaing satu sama lain harus mengeluarkan jurus-jurus dan maneuver-manuver ampuhnya agar persaingan itu bisa menang, Dhafir melawan kiai Salwa bukanlah sikap sloroh kepada kiai sepuh, karena politik itu adalah seni. Sebetulnya pesaingan politik antara kiai Salwa dengan Dhafir bagaikan seni bela diri silat, yang mana dalam seni bela diri, harus sama-sama mempelajari jurus agar bisa mengalahkan pihak lawan, pertarungan antara guru dan murid dalam seni bela diri silat tidak tergolong pertentangan antara guru dan murid, memang telah menjadi lumrah antara guru dan murid saling mengelurkan jurus andalannya, agar segala serangan dapat ditangkis dengan tepat. Oleh karena itu politik dapat juga di pahami sebagai seni bela diri dalam bermanuver melawan musuh sebagai lawan politik, tidak terkecuali yang jadi lawan adalah guru, karena guru dalam melatih muridnya dilumrahkan untuk menerima pukulan dari sang murid, agar bisa mengetahui sejauh mana kemampuan si murid dalam mempelajari seni bela diri.

Tentu analogi diatas hanya sebuah gambaran agar kita mudah dalam memahami sebuah persaingan, kita jangan terlalu tegang dan jangan terlalu kaku dalam melihat sesuatu yang dianggap bermusuhan. Persaingan antara SABAR dan JAS HIJAU adalah kelumrahan saja dalam politik, jangan kita terbawa pada hasutan yang berniat memecah belah persatuan dan persaudaraan antar anak bangsa, mengedepankan perdamaian itu diutamakan, bertarung dengan mengedepankan program unggulan dan visi misi lebih dianggap satria, dari pada menjelekan dan membunuh karakter pihak lawan. Sebuah kata menarik dalam potongan lirik lagu “Jogja Istimewa” yang di bawakan ole Hip Hop Fundation “Menyerang tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, Kesaktian tanpa ajian, Kekayaan tanpa kemewahan”, sangat menarik potongan lirik lagunya selain lagunya memang enak di dengar. Dalam persaingan dan peperangan selayaknya mengedepankan kesederhanaan, tidak perlu mengarang fitnah, hoax atau black campaign (kampanye hitam) atau sejenisnya, dengan tujuan memusnahkan suara lawan.

Memang dalam politik tidak ada yang berdo’a kepada tuhan untuk kalah, semua calon berdo’a kepada tuhan untuk dimenangkan, namun jiwa siap memang dan siap kalah harus ada, berdo’a boleh saja minta menang saja, namun pelaksanaan harus siap menerima apapun yang telah menjadi ketetapan. Yang terpenting adalah selalu mengedepankan kepentingan  umum berupa ketertiban dan keutuhan masyarakat, saat ini telah tidak jaman lagi melakukan kecurangan, karena masyarakat sudah pintar semua, jika kecurangan terjadi maka masyarakat secara luas akan sangat mudah menilainya. Praktek intimidasi untuk memilih pasangan calon tertentu sudah tidak jaman, serahkan semua pada masyarakat, bukankah asas pemilu itu LUBER, Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta juga menganut asas JURDIL, Jujur dan Adil. Yang jadi persolan sekarang benarkan jujur dan adil itu ada? Jika pertanyaan itu ada maka yang bisa jawab hanya KPUD Bondowoso, siapkah KPUD Bondowoso netral dalam pemilihan kali ini? tidak memihak pada salahsatu calon. Elemen KPUD mulai dari PPS  dan PPK hingga seluruh komisionernya harus menjunjung tinggi asas jujur dan adil, sehingga transparasi data dapat terpampang nyata, serta terbuka kepada masyarakat, sehingga tiket berupa legitimasi dari rakyat bagi yang terpilih  tanpa ada fenomena konflik sekecil apapun.

Memang menyatukan pendapat yang berbeda itu tidak mudah, apalagi persoalan pilihan kepemimpinan, selain karena memang ada kontrak politik diawal, dan janji manis politik oleh para calon, juga ada unsur kepentingan di belakang hari,  isyu bagi-bagi kue jabatan dalam perebutan kekuasaan itu memang betul adanya, namun sekali lagi, persaingan itu adalah hal yang lumrah, dan merupakan peristiwa lima tahunan. Berjuang untuk menang itu boleh dan dianjurkan, namun curang dalam meraih kemenangan itu perbuatan yang salah dan tercela. Dari hal itulah pentingnya mengedepankan kejujuran dalam berkompetisi, lebih baik kalah dengan cara bermartabat daripada menang dengan cara curang.

Penulis hanya memberikan dukungan moral oponi ilmiah berupa tulisan ini, agar kesadaran masyarakat dalam menyelenggrakan PEMILUKADA, aman, damai dan bermartabat, juga kepada masyarkat selaku pemilih, dan pendukung pasangan tertentu, jangan sampai termakan isyu dan hasutan atau provokasi oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga menyebabkan konflik antar tetangga, ingatlah bahwa antara JAS HIJAU dan SABAR, dan atau sebaliknya SABAR dan JAS HIJAU adalah bersaudara, jika di gabungkan maka akan menjadi koalisi persaudaraan yang bagus, yaitu  SABAR ber JAS HIJAU.

Sesungguhngya dalam diri kelompok SABAR bayak terkandung JAS HIJAU yaitu kaum Nahdliyin / Santri yang secara sukarela mendukung kiai Salwa selaku tokoh NU untuk menjadi pemimpin bupati Bondowoso, disisi lain dalam kelompok JAS HIJAU, juga ada jiwa SABAR yang tertanam dalam diri masing-masing, kerena itulah yang menjadi ciri khas seorang santri, melatih Sabar dan Tawakal kepada Allah Swt.

Seperti halnya falsafah warna hijau adalah warna kesejukan, kedamaian dan ketentraman, dan semua itu dapat diraih jika kita mengedepankan rasa SABAR. Selaku kota santri kabupaten Bondowoso tentu tidak lupa akan hadist Nabi Muhammad Saw, yang mengatakan “ikhtilafu ummati rahmatun”, artinya perbedaan pada umatku adalah rahmat. Sama halnya dalam berpolitik, perbedaan pilihan bisa jadi sebuah rahmat jika kita sadar akan rahmat yang dapat kita peroleh  dari perbedaan itu.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat secara luas. Sehingga Bondowoso sebagai ikon kota santri benar-benar terwujud. amin

* Profil Penulis : Ayopri Al Jufri

  1. Alumni STAIN Jember (IAIN Sekarang)
  2. Pembina YAYASAN ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN, Sekretariat Dusun Sletreng RT 04 / RW 02, Desa Kupang, Curahdami Bondowoso
  3. Pengawas di Yayasan Yatim Piatu dan Duafa AZ-ZAHRO
  4. Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adikara Pancasila Indonesia (API)

 

Tinggalkan Balasan