Boikot Sebuah Solusi Atau Anarkis?

Bondowoso,Opini.Kabardaerah.com-Setelah Donald Trump mengeluarkan keputusan sepihak tentang pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel,  sontak membuat semua penduduk dunia geram,  dan membuat marah semua kepala Negara di dunia,  harapan penulis (saya)  pada saat pemilu Amerika serikat beberapa waktu lalu berharap yang akan menjadi presiden Amerika Serikat adalah Hillary Clinton,  karena dia merupakan sosok yang lebih halus secara watak dan mempunyai kebijakan politik yang jauh lebih moderat dari pada Trump,  namun harapan itu sangat meleset,  malah Trump yg terpilih jadi presiden AS,  berpikir soal itu tentu kalau secara sepintas dunia telah mengalami kecelakaan politik atas terpilihnya Trump.  Akan tetapi kita penduduk dunia wabil khusus umat muslim tidak perlu menyalahkan takdir atas terpilihnya Trump,  bisa jadi itu adalah awal kehancuran sebuah Negara adidaya yang selama ini menguasai seluruh penjuru dunia,  Negara yang memproklamirkan sebagai polisi dunia mungkin sudah saatnya akan mengalami keruntuhan,  dengan adanya sikap politik Trump yang terkenal arogan,  tentu akan mengubah peta dukungan sebab adanya rasa simpati terhadap Palestina, seluruh dunia nantinya akan mendukung perdamaian daripada mendukung kepala Negara yang temperamen dalam sikap politiknya.

Tidak berlebihan jika umat muslim Indonesia pada tanggal 17 Desember 2017 mengadakan Aksi damai dan do’a bersama di Monumen Nasional (MONAS)  yang di pimpin oleh ketua umum MUI KH. Ma’ruf Amin dan di hadiri oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin serta Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon dana perwakilan beberapa ORMAS dengan tuntutan kepada dunia untuk mendukung atas kemerdekaan Palestina dangan harapan Yeruselem tetap menjadi milik Palestina,  dan di harapkan Trump dapat merubah keputusannya atas pengakuan Yarusalem sebagai ibu kota Israel. Walaupun harapan itu sepertinya akan mengalami kebuntuan mengingat watak Trump adalah orang yang sombong dan arogan,  namun langkah itu bukanlah sebuah kekonyolan belaka,  dengan adanya aksi damai itu di harapkan menjadi warning untuk Trump,  dalam tuntutan aksi damai itu mengajak masyarakat untuk memboikot seluruh produk Amerika dan Israel.

Dalam perang yang harus di perhatikan adalah kekuatan militer dan kemampuan militer, maka aksi damai dengan jumlah peserta yang besar merupakan bagian dari perang dalam berpolitik, perlu di ingat jumlah penduduk muslim dunia menurut hasil penelitian PEW Research Center berjumlah 1,59 miliar jiwa. Atau sekitar 23% dari total populasi dunia. Muslim dunia berada di peringkat  dua dari segi populasi jumlah penganutnya, peringkat pertama masih di raih oleh penganut agama Kristen yang berjumlah 2,2 miliar jiwa. Angka ini hampir setara dengan gabungan jumlah penduduk Tiongkok dan India (masing-masing berpenduduk kira-kira 1,3 miliar jiwa). Artinya, menurut hasil penelitian dari PEW Research Center, setiap tiga dari sepuluh orang di dunia adalah Kristen. Walaupun muslim masih dalam peringkat kedua dari segi populasi, namun hal ini akan menjadi sebuah nilai tawar dalam bernegosiasi melawan kediktatoran penguasa dunia yang lalim seperti Trump, anjuran untuk boikot seluruh produk Amerika dan Israel tentu akan menjadi pertimbagan serius dari kedua Negara yang di kenal nakal dalam berpolitik itu. Bayangkan jika jumlah penduduk muslim dunia yang berjumlah 1,3 miliar jiwa itu seluruhnya memboikot produk-produk Amerika dan Israel, tentu akan membunuh perekonomian perusahaan-perusahaan serta perekonomian Amerika dan Israel. Stabilitas perekonomian dunia juga akan terganggu, hal itu bukan tidak mungkin, karena dalam Islam ada ikatan emosional yang erat yaitu ukhuwah islamiayah (ikatan persaudaraan sesama muslim), muslim Palestina akan mendapat simpatik yang luarbiasa dari segi Ukhuwah muslim dunia.

Kembali pada soal aksi damai yang di lakukan muslim Indonesia, teringat dengan data statistik yang di sampikan Din Syamsudin semasa menjabat ketua Majelis Ulama’ Indoensia (MUI), beliau menyatakan jumlah penduduk muslim indonesia sensus penduduk 1990 jumlah umat Islam cuma mencapai 87,6 persen. Angka ini kemudian meningkat menjadi 88,2 persen pada sensus penduduk 2000 dari seluruh jumlah penduduk indonesia. Hal ini berarti kekuatan muslim Indonesia dari segi populasi sangat memungkinkan jika ingin mematikan produk Amerika dan Israel, perlu di ingat kebesaran perusaahaan itu bergantuang pada konsumen, jika konsumen telah melakukan boikot terhadap produk, maka bisa di pastikan perusahaan akan bangkrut. Namun kita selaku umat yang beradab tentu harus berfikir secara jernih, apakah tindakan boikot itu sudah tepat atau sebuah tindakan bunuh diri, kesimpulan sementara saya (penulis), aksi boikot dapat di benarkan dan secara politik, kita umat muslim Indonesia tidak begitu sangat bergantung pada produk luar negeri, kita punya makanan sendiri, dan punya produk pakaian sendiri, produk minuman sendiri yang merupakan khas ke indonesiaan. Aksi boikot akan merubah peta dukungan politik para pengusaha di Negara adidaya dan pertimbagan ekonomi di amerika. Namun persoalannya aksi boikot itu masih dalam wacana, masih banyak dari warga muslim saudara kita sendiri yang masih bergantung pada produk-produk Amerika dan Israel.

Boikot bukan tindakan anarkis, boikot adalah bagian dari tindakan politik agar tuntukan kita di perhatikan, karena kita memiliki nilai tawar dalam segi populasi penduduk. Kita selaku umat muslim merasa prihatin dan simpati terhadap saudara kita di Palestina yang selalu mengalami tindakan anarkis oleh militer Israel yang selalu meng-intimidasi dalam menguasi tanah Al-Quds. Apakah kita harus diam saja kalau suadara kita di sakiti, tentu kita harus juga bertindak tentau sesuai aturan dan tindakan yang manusiawi, kita umat muslim adalah umat beradab, jagan menampakkan garang dalam bertindak, selain aksi boikot produk langkah loby bilateral terhadap pemerintah Amerika sangat di perlukan, untuk merubah keputusan Trump, kita tahu sekarang Negara-negara yang tergabung dalam OKI mendukung secara bulat atas Yerusalem sebagai milik Palestina, dan Negara-negara Uni Eropa juga begitu telah banyak yang menolak permintaan perdana mentri Israel Netenyahu untuk mengakui Yarusalem sebagai ibu kota Israel. Artinya penduduk dunia sekarang berada di Armada Simpati  terhadap Palestina, kedua Negara yang nakal seperti Amerika dan Israel tidak memiliki legitimasi  dari satu negarapun dunia dalam mengakui Yeruslem. Semoga saudara kita di Palestina di beri kesabaran dalam menghadapi ujian dan semoga kemerdekaan Palestina segara terlaksana. Amin

 

*Penulis :  AYOPRI

Tinggalkan Balasan