Kemenangan Sementara LGBT Di Meja Mahkamah Konstitusi

Bondowoso,Opini.Kabardaerah.com-Selain isyu Politik dan isyu Kosupsi di negeri ini sekarang ada sebuah isyu yang di nilai kontroversial, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2017 yang menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya yang diajukan oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, ada tiga pasal KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang dimohon untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi, Pasal 284 tentang Perzinahan, Pasal 285 tentang Perkosaan, dan Pasal 292 tentang Percabulan anak.

Sejak putusan resmi di bacakan oleh ketua MK Arief Hidayat di persidangan, di seluruh negeri ini menjadi ricuh, hal itu terlihat di media sosial dalam pantauan penulis (saya), bahkan di media sosial seperti facebook misalnya, menuduh pendukung LGBT dan perzinahan dari beberaap hakim MK  yang dianggap menolak (dissenting opinion berbeda pendapat degan putusan) atas gugatan tersebut yang diajukan oleh pemohon, seperti hakim Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat.

Putusan tersebut sontak membuat ramai tuduhan MK telah mendukung perzinahan, pencabulan dan Lesbiyan, Gay, Bisexual, Trans Gender atau di kenal dengan singkatan LGBT, tuduhan itu bukan hanya bersifat perkataan, tuduhan itu juga bersifat misteri seperti meramalkan bahwa bangsa Indonesia akan bernasib sama dengan umat Nabi Lut, yaitu di binasakan oleh Allah karena suka kawin dengan sesama jenis. Tentu hal itu sangat mengada-ada, mari kita kaji bersama dimana letak persoalan dan bagaimana solusinya memahami putusan MK tersebut?

Kita mulai dari memahami tugas Mahkamah Konstitusi Menurut UUD 1945, Mahkamah konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan yang telah diatur dalan konstitusi dan dalam undang-undang Mahkamah konstitusi. Aturan tersebut bertujuan untuk mengurangi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan. Salah satu kewenangan yang menjadi tugas rutin mahkamah konstitusi adalah pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945.

Sejak mahkamah konstitusi berdiri sejak tahun 2003, mahkamah konstitusi telah banyak membatalkan dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pasal, ayat dan undang-undang yang diajukan untuk dilakukan judical review. Berikut ini adalah beberapa tugas Mahkmah Konstitusi :

  1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  2. Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.
  3. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar 1945.
  4. Memutuskan pembubaran partai.
  5. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  6. Memeberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut undang-undang dasar 1945.
  7. Memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan terkait permasalahan yang terjadi.

Mahkamah konstitusi memiliki tugas dan fungsi yang sangat strategis. tugas dan fungsi itu setidaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Pertama, Indonesia sendiri adalah sebuah negara yang sangat plural. Kemajemukan itu sangat praktis yang meliputi semua hal: suku, etnis, adat, budaya, agama,bahasa dan lainnya. Dalam masyarakat yang sangat bhinneka (berbeda-beda) seperti indonesia, potensi terjadinya benturan itu secara horizontal relatif lebih besar ketimbang benturan vertikal. Untuk itu diperlukan adanya aturan main bersama dalam mengatasi penyebab lunturnya bhinneka tunggal ika, yang nantinya akan bisa menjadi pegangan dasar bagi semuanya. Konstitusi atau undang-undang dasar adalah pegangan dasar dari sebuah negara, yang memuat semua komitmen awal dan mendasar dari para pendiri bangsa. Dari sini lah semua undang-undang dan peraturan lainnya dibuat harus sinkron dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar. Dan juga kita harus mengerti dan memahami arti Bhineka tunggal ika-sejarah-peran dan konsep nya agar konsep yang berbeda-beda tidak saling bertentangan. hal yang berbeda-beda tersebutlah yang menjadi tugas mahkamah konstitusi untuk mengatasi agar tidak terjadi hal yang bertentangan.
  2. Kedua, Negara Indonesia memiliki sifat mutlak monodualis terhadap kemanusiaan, bukan negara liberal, bukan negara kekuasaan belaka atau diktator, bukan negara materialistis. Negara kita adalah negara yang terdiri dari perseorangan hidup baik dalam kelahiran maupun kebatinan, yang mempunyai kedua-duanya kebutuhan dan kepentingan perseorangan serta kebutuhan dan kepentingan bersama, yang kedua-duanya diselenggarakan tidak saling mengganggu, tetapi dalam kerjasama, negara kita adalah yang dinamakan negara hukum kebudayaan.

Negara kita sebagai negara hukum kebudayaan mempunyai tujuan menghindarkan gangguan dari darat, udara maupun laut, memaksimalkan tugas dan fungsi angkatan laut, darat dan udara, berupaya menjaga keutuhan NKRI, memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian kedalam maupun luar negeri. Yang semuanya itu adalah hak dan kewajiban warga negara dalam UUD 1945. dalam hal ini tugas mahkamah kontitusi cukup berat untuk menjaga kontsitusi dari hal yang dapat merusak konstitusi itu sendiri dan juga bangsa negara.

Kembali pada persoalan kontroversi putusan MK terhadap permohonan uji materi KUHP pasal 284 tentang perzinahan, Pasal 285 tentang perkosaan, dan Pasal 292 tentang percabulan anak yang diajukan oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, sebenarnya mahkamah konstitusi tidak mengeluarkan produk hukum baru, MK hanya bersifat menolah keseluruah permohonan pemohon, dimana para pemohon menginginkan terkabulnya permohonannya seperti berikut :

  1. Pasal 284 tentang perzinahan, yang tadinya terbatas dalam kaitan pernikahan dimohonkan untuk diperluas ke konteks diluar pernikahan.
  2. Pasal 285 tentang perkosaan, yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, dimintakan untuk diperluas ke laki-laki ke laki-laki ataupun perempuan ke laki-laki.
  3. Dan Pasal 292 tentang percabulan anak, yang asalnya sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa dimintakan untuk dihilangkan batasan umurnya.

Inti permohonan memang sengaja saya buat cetak tebal agar memudahkan para pembaca memahami secara  jernih inti permohonan dan pesoalannya, perlu di ingat tugas Mahkamah Konstitusi salah satunya Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 (dalam arti menafsirkan undang-undang). Yang artinya MK tidak berwenang menciptakan sebuah norma baru, sedangkan kalau kita baca inti permohonan pemohon adalah, agar MK dapat membuat produk hukum baru, yaitu memperluas norma hukum yang ada dalam pasal-pasal yang menjadi objeb permohonannya. Dalam hal ini saya (penulis) sangat sependapat dengan apa yang di sampaikan oleh Prof. Mahfud MD  dalam cuitan twiter-nya mengatakan bahwa “yang kurang faham, menuding MK membuat vonis membolehkan Zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberikan perluasan tafsiran yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang, MK memang tidak boleh membuat norma. Larangan Zina dan LGBT bisa di larang di dalam Undang-undang, dan itu sekarang sudah ada di rancangan Undang-undang (RUU) kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP).” Jadi jelas bahwa kewenangan MK itu adalah menguju undang-undang bukan membuat undang, sedangkan membuat atau menyusun undang-undang itu adalah tugas pokok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku legislatif.

Perlu saya pertegas dalam tulisan ini, MK dalam putusan tesebut tidak mengeluarkan produk hukum baru seperti yang di tuduhkan orang dalam media sosial bahwa MK mendukung LGBT dan mendukung perzinahan, bahkan ada yang menuduh MK melegalkan perzinahan, oleh karena itu tadi malam tanggal 15 Desember 2017 terjadi gempa bumi di sekitar Jawa Barat, juga merupakan dosa MK yang telah melegalkan LGBT dan perzinahan, padahal sudah jelas, disitu MK menolak permohonan pemohon karena bertentangan dengan tugas pokok MK jika permohonan itu di paksakan untuk di kabulkan sesuai permohonan pemohon. Betul apa yang disampaikan bapak mahfud MD, tentang LBGT dan perinahan itu sudah ada dalam RUU KUHP, dan semoga saja dalam RUU KUHP itu nanti segera di sahkan oleh bapak DPR yang terhormat, agar persoalan kekosongan hukum tentang pemidanaan LGBT dan perzinahan ini mendapat titik terang dalam pelaksanaannya.

Mari kita ngaji istilah-istilah hukum secara mendasar terlebih dahulu agar kita sedikit mudah memahami sebuah persoalan dalam sebuah kasus hukum, dan untuk menghindari polemik yang bisa meyebabkan huru-hara dalam sebuah ketidak jelasan.

 

Istilah Hukum : Arti Gugatan DIKABULKAN, DITOLAK, dan TIDAK DAPAT DITERIMA

  1. Gugatan Dikabulkan

Menurut pakar hukum acara perdata, M. Yahya Harahap, dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dalil gugatnya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”)/Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”). Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim.

  1. Gugatan Ditolak

Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 812), M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.

  1. Gugatan Tidak Dapat Diterima

Dijelaskan pula oleh M. Yahya Harahap (hal. 811), bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996:

  1. gugatan tidak memiliki dasar hukum;
  2. gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
  3. gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau
  4. gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.

Bukan bermaksud penulis (saya) menggurui para pembaca, tentu yang membaca tulisan ini juga ada yang ahli hukum, namun maksud tulisan ini agar mempermudah pemahaman masyarakat umum dalam memahami Ilmu Hukum secara mendasar dan dengan cara yang mudah. Sudah jelas dalam sajian istilah hukum diatas, bahwa gugatan permohon untuk menguji pasal-pasal dalam KUHP tentang Perzinahan, Perkosaan,Percabulan tidak dapat di paksakan, karena  dalil para pemohon untuk mengabulkan permohonan pemohonan diluar kewenangan MK, dan permohonan itu harus di tolak keseluruhan, ini tidak ada kaitanya degan tuduhan Mk mendukung perzinahan dan LGBT.

Maka langkah selanjutnya kita adalah menunggu di sahkannya RUU KUHP yang juga membahas tentang perzinahan dan LGBT, karena memang sekarang tentang inti permohonan yang diajukan oleh pemohon itu masih mengalami kekosongan hukum, sedangkan MK sendiri bukan wewenangnya menerbitkan norma atau hukum baru dalam putusannya. Merupakan perjuangan panjang bagi kita semua dalam menghadapi tantangan kebutuhan hukum di masa depan, seperti RUU tentang santet misalnya, sampek sekarang belum juga ada kejelasan dalam hukum kita, jadi sampek sekarang  santet itu tidak bisa di pidanakan, tentu kalau kita kembali pada norma agama, perbuatan santet merupakan ilmu hitam yang di larang dan hukumya haram dan musyrik, karena bersekutu dengan Jin dan merugikan orang lain. sama halnya dengan LGBT hinga sekarang belum bisa di pidanakan, kerena memang itu  tidak diatur dalam hukum kita, tentu Polisi juga tidak bisa melakukan tindakan hukum menumpas para bencong misalnya, hukum sosial dan norma agama yang hingga sekarang bisa mengucilkan dan menuntun para pelaku untuk bertaubat.

 

*Penulis :  AYOPRI

Tinggalkan Balasan