Merangkul Oknum Pengidap Penyakit Sosial LGBT

Oleh: Ayopri Al Jufri*

Sepintas judul tulisan saya ini terkesan kontroversial jika hanya di pahami setengah-setengah, oleh karena itu wajib baca sampai tuntas agar faham maksud isi tulisannya. Tulisan ini merupakan bantuk perhatian secara sosial kemanuasiaan yang saya paparkan kepada seluruh pembaca agar bisa menempatkan sebuah persoalan dengan metode moderat. Para pembaca tentu pernah dengar istilah LGBT, bukan kepanjangan dari Laki Ganteng Bininya Tiga (LGBT) itu adalah istilah anekdot humoria saja sebagai sindiran terhadap orang yang suka sinis terhadap istilah LGBT.

Perilaku Lesbiyan, Gay, Bisexual dan Transgender atau di kenal dengan LGBT dalam istilah kekinian, adalah merupakan sebuah perilaku yang termarginalkan oleh kalangan masyarakat Indonesia khususnya, perilaku suka sesama jenis dianggap sebuah penyimpangan perilaku sosial di masyarakat, karena telah keluar dari fitrah manusia yang seharusnya memiliki orientasi sex terhadap lain jenis.

Kita sesama manusia kebanyakan terlalu kaku dalam memahami sesuatu yang dianggap menyimpang di masyarakat, jarang dari kalangan kita memilik perhatian lebih untuk mencari sebuah solusi penyimpangan yang di lakukan oleh sekelompok orang. Padahal kita selaku umat beragama di harapkan akan menjadi sebuah cahaya yang dapat menerangi bagi masyarakat lainnya, cahaya iman seharusya memancarkan kebaikan untuk seluruh umat manusia bukan sebaliknya menjadi senjata penumpas bagi kelompok lain yang berbeda.

Golongan manusia yang memiliki iman adalah golongan yang terselamatkan dalam pandangan masing-masing agama, berbada bagi golongan orang yang tidak memiliki keimanan itu masih dalam tataran jalur gelap dalam kehidupan ini karena masih belum tersentuh dari cahaya iman. Dalam konteks LGBT ini perlu penulis memaparkan pandangan seluruh agama tentang LBGT, yang penulis himpun dari banyak literatur kepustakaan, dan tidak juga menafikan sudut pandang lain yang dapat memberikan sebuah solusi pengetahuan bagi masyarakat baik pembaca secara umum maupun golongan masyarakat yang memiliki kelainan orientasi seksual.

  1. Pandangan Agama ISLAM terhadap LGBT

Dalam Islam Allah SWT sudah melarang keras hamba-Nya agar tidak masuk golongan orang-orang yang menyukai sesama jenis, seperti LGBT. Al-Quran sebagai sumber ajaran agama Islam di dalamnya terdapat sejarah masa lampau yang pernah di alami oleh Nabi Luth dengan kaumnya. Dimana kaum Luth sangat terkenal dengan saling menyukai sesama jenis dan akhirnya mendapatkan adzab yang sangat pedih. Ini pertanda bahwa Allah sangat tidak menyukai orang yang saling menyukai sesama jenis.

Di dalam Firman Allah bahwa: Yang artinya“Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang diatas ke bawah (kami balikkan dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim”(Qs. Al-Hud: 82-83)

Dalam Al-Qur’an kita telah diberi rambu-rambu akan bahaya LGBT, sebelum LGBT di zaman sekarang telah ada pada zaman Nabi Luth yang dihukumi oleh adzab yang sangat pedih dan menakutkan. Sesungguhnya, LGBT merupakan merupakan suatu perbuatan yang menyimpang dari fitrah manusia yang sesungguhnya di dalam Islam memiliki pandangan hukum LGBT adalah Haram.

  1. Pandangan agama Kristen terhadap LGBT

Di dalam Al-Kitab, khususnya Perjanjian Baru, bahwa Al-Kitab menunujukkan bagaimana seharusnya paradigma orang Kristen terhadap homoseksualitas, gay, dan juga lesbian (LGBT). Al-kitab secara tegas menunjukkan bahwa homoseksualitas adalah dosa, tetapi Al-kitab tidak menyatakan bahwa para pelakunya LGBT dalam hal ini biasa disebut gay dan lesbian bebas diperlakukan dalam ketidakadilan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Yesus membeci dosa homoseksualitas, sama seperti Dia membenci dosa-dosa yang lain, tetapi Dia tetap mengasihi mereka yang terlibat di dalam-Nya. Tuhan mau para gay dan lesbian ini diperlakukan dalam terang kasih ilahi, sehingga mereka dapat bertobat dan dipulihkan dari dosa homoseksualitas. Alkitab jelas menyebutkan bahwa homoseksualitas adalah dosa dan kekejian di mata Yesus.

“Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian”. (Imamat 18:22)

“…sama seperti Sodo, dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang. Namun demikian orang-orang yang bermimpi-mimpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina kekuasaan Allah serta menghujat semua yang mulia di sorga”(Yudas 1:7-8)

Pencipta kita telah menetapkan peraturan tentang perkawinan jauh sebelum pemerintah manusia melakukannya. Buku pertama dalam Alkitab memberi tahu kita, ”Seorang pria akan meninggalkan bapaknya dan ibunya dan ia harus berpaut pada istrinya dan mereka harus menjadi satu daging.” (Kejadian 2:24)

Tuhan tidak pernah menciptakan seseorang dengan keinginan homoseks, homoseksualitas bukan merupakan dalih untuk hidup dalam dosa dengan mengikuti keinginan dosa mereka. Tetapi Alkitab tidak menggambarkan homoseksualitas sebagai dosa yang “lebih besar” dibanding dosa-dosa lainnya. Semua dosa adalah kekejian dan tidak menyenangkan Tuhan. Menurut Alkitab, pengampunan Allah tersedia bagi kaum homoseks, sama seperti bagi orang yang berzinah, penyembah berhala, pembunuh, pencuri, dll. Allah juga menjanjikan kekuatan untuk menang terhadap dosa, termasuk homoseksualitas, kepada setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus untuk keselamatan mereka.

  1. Pandangan Agama Budha terhadap LGBT

LGBT adalah penyakit fitrah manusia dan seksualitas yang menyimpang, inilah pandangan yang sangat tidak sesuai dan kurang tepat menurut pernyataan Ven Ajahn Brahm bahwa pernyataan tersebut sama saja seperti orang bodoh yang berkata bahwa,”Apabila bunuh diri dilegalkan, maka semua orang akan melakukannya” di dalam ruang lingkup Ajaran Buddha,yang penuh cinta kasih sesuai dengan Karaniya Metta Sutta dimana sewaktu anda membacakan Karaniya Metta Sutta (dalam tradisi Theravada) anda mengatakan,”Semoga semua makhluk berbahagia, semua makhluk bebas dari penderitaan”.

Sekilas bahwa hal ini tampaknya ada benarnya. Di dunia barat, setidaknya banyak kaum mereka yang menderita masalah kejiwaan, kecanduan alkohol, dan menunjukkan perilaku seksual yg sangat menggoda. Dalam penggelompokan data, kaum mereka menduduki peringkat tertinggi dalam sekian banyak kasus bunuh diri. Kemungkinan besar bahwa kaum mereka lebih menderita dibandingkan dengan kita, akibat perlakukan masyarakat terhadap sosial masyarakat terhadap mereka atas dasar orientasi seksual mereka, dan apabila mereka diperlakukan sama layaknya dengan perlakuan terhadap masyarakat pada umumnya, bukan tidak mungkin bahwa mereka juga akan menunjukkan gejala yang sama pula. Sesungguhnya inilah argumen yang terkuat untuk menerima dan memahami kaum mereka.

Kita seharusnya mengikuti langkah Sang Buddha dengan mencoba mengerti mereka dengan landasan kasih sayang dan pengeritan yang selalu diajarkan dalam agama Buddha, dan cobalah untuk mengerti bahwa kehidupan homoseksual saat ini sangatlah keras, terutama di tempat-tempat tertentu dimana mereka tidak dimengerti, dimana mereka dilihat dengan mata yang penuh ketakutan dan jijik. Kasih sayang Buddhis seharusnya dapat menerima mereka sebagaimana adanya (sesuai ajaran Buddha) dan mencoba untuk menasehati mereka, apabila mereka menjadi homoseksual, jadilah homoseksual yang penuh kasih sayang, yang baik dan bermoral.

Dalam pandangan agama Budha perilaku homoseksual masih abu-abu, tetapi sebagian besar para bhikku menolak pernikahan sejenis. Menurut Bhikkhu Uttamo Mahathera, seperti dikutip dari situs Bodhi Buddhist Centre Indonesia, berpendapat bahwa seseorang yang berprilaku seksual menyimpang (Homoseksual, red) bisa saja mengikuti Buddha Dhamma.

  1. Pandangan Agama Hindu terhadap LGBT

Ada yang berpendapat di kalangan Budha bahwa LGBT itu tidak melanggar aturan dharma dan tidak pula bertentangan dengannya. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang hidup dengan pengabdian penuh belas kasih, meskipun itu seorang LGBT atau tidak, dan telah menguasai keinginan dan dorongan nafsu (seksual dan lain sebagainya) memiliki kemampuan dan kemungkinan yang sama untuk mencapai Moksha.

Dalam sastra suci Sruti tidak ada tulisan yang mendukung untuk memperlakukan orang LGBT sebagai inferior atau mendukung penindasan terhadap mereka. Dalam penjabaran dari beberapa pendapat, dharma, dan sastra suci Sruti bahwa homoseksual (lesbi dan gay) berhak untuk mencapai moksa dan tidak ada penjatuhan hukuman terhadap mereka, merujuk pada kitab suci Veda sruti yang tidak mengatur perilaku homoseksual. Jika dicermati maksud dari penjelasan tersebut bahwa seorang LGBT juga berhak untuk mencapai moksa apabila ia kembali ke jalan dharma; menjalankan hidup dengan pengabdian penuh belas kasih dan telah menguasai keinginan dan dorongan nafsu seksual.

Penyimpangan seksual yang dilakukan kaum homoseksual memang bukan kejahatan, akan tetapi hal itu tetap sebagai perbuatan dosa yang ditanggung oleh pribadi masing-masing. Ajaran Hindu tidak membenarkan pernikahan diantara pria dengan pria (gay), wanita dengan wanita (lesbi). Dengan kata lain, pelaku penyimpangan seks (homoseksual) tidak diberikan hak untuk mendapat upacara pernikahan atau upacara perkawinan dengan puja mantra Veda.

Ada dua jenis waria, yaitu mereka yang bertindak selaku pria dan mereka yang bertindak selaku wanita. Waria yang bertindak selaku wanita menyamarkan diri mereka dalam berpakaian, pembicaraan, gerakan tangan dan kepala, kelemah lembutan, sifat pemalunya, kesederhanaannya, kegemulaiannya dan sifat penakutnya. Kegiatan yang biasa dilakukan terhadap bagian jaghana atau bagian tengah dari wanita, oleh para waria ini dilakukan dengan mulutnya dan hal inilah yang disebut Auparistaka. Para waria ini mendapat kesenangan imajinatif dan mata pencaharian mereka dari jenis hubungan badan semacam itu menjadikan mereka menjalani kehidupan sebagai wanita penghibur. Demikian keterlibatan tersamar dari seorang waria yang berperan sebagai wanita. (Kama Sutra, hal 127-128).

Dalam kitab suci Manawa Dharmasastra, Astamodyaya atau bab delapan menyinggung hukuman terhadap pelaku lesbi. Mereka tidak dibenarkan menodai seorang gadis, mereka dapat dipidana atau didenda. Pada sloka 369 dinyatakan, apabila seorang gadis menodai seorang gadis lain, akan didenda sebesar 200 pana dan membayar mas kawin dua kali lipat. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa bilamana seorang lesbi menodai seorang gadis lain maka dapat dikenakan sanksi.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa homoseksual bertentangan dengan dharma dan merupakan perbuatan dosa, mereka tidak dibenarkan menikah dengan upacara Veda. Meski demikian, bagi mereka yang mengalami kelainan seksual tersebut dibenarkan mendapatkan kesenangan seksual dengan sesamanya tanpa menodai seseorang yang bukan homoseksual.

Tulisan pandangan agama-agama terhadap LGBT ini saya (penulis) kutip langsung dari tulisan saudara Tonny Ilham Prayogo yang berjudul “LGBT dalam Perspektif Agama-agama”, sebagai tambahan kajian saya (penulis) akan menyajikan pandagan agama Khonghuchu terhadap LGBT, karena dalam tulisan saudara Tonny Ilham Prayogo tidak menyinggung pandangan agama Khonghuchu terhadap LGBT.

  1. Pandangan Agama Khonghuchu terhadap LGBT

Menurut wikipedia.org, Agama Konghucu tidak begitu memberi perhatian pada pengetahuan seks, baik hubungan seks antara pria dan wanita ataupun sejenis (homoseks). Tapi, ada sebuah frasa eufimisme unik yang diperkirakan merujuk pada hubungan homoseksual, yaitu ‘menggigit kulit pahit’. Frasa yang ditemukan pada Kitab Suci yang Lima (Wu Jing). Tepatnya pada Kitab Dokumen Sejarah (Shu Jing) dan Kitab Chunqiu Jing. Pada ke dua teks suci tersebut, disebutkan bahwa beberapa individu mempraktikkan anal seks.

Pada situs lainnya, patheos.com, dituliskan bahwa, Konfusianisme mengajarkan manusia untuk memiliki keturunan. Dari situ bisa muncul dua kemungkinan. Pada situs lainnya, patheos.com, dituliskan bahwa, Konfusianisme mengajarkan manusia untuk memiliki keturunan. Konfusianisme tidak secara tegas melarang praktik homoseksual selama tidak mengganggu tujuan akhir dari seorang pria atau wanita, yaitu memiliki anak. Yang ke dua, konfusianisme melarang sama sekali tindakan itu, karena memang pernikahan sejenis tidak diakui.

Jadi, Konfusianisme tidak secara terang-terangan menolak keberadaan kaum homoseks. Prilaku homoseksual bukanlah masalah selama si pelaku kelak menikah secara normal dan memiliki keturunan. Tulisan ini saya (penulis) kutip dari tulisan sudara Sahirul Taufiqurrahman yang berjudul “Isu Homoseksual Menurut Agama Konghucu”.

Dapat kita pahami bersama dari ke 5 agama resmi diakui oleh Negara Indonesia menjelaskan bahwa perilaku LGBT merupakan hal yang di larang dan termasuk perbuatan menyimpang, itu dalam sudut pandang hukum agama, beda dalam pandangan hukum positif di Indonesia, yang beberapa waktu lalu di ajukan uji materi oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan Pasal 284 tentang Perzinahan, Pasal 285 tentang Perkosaan, dan Pasal 292 tentang Percabulan anak, namun harapan pengajuan uji materi itu pupus karena di tolak keseluruhan oleh MK (baca tulisan saya berjudul “Kemenangan Sementara LGBT di meja MK” di kabardaerah.com edisi tanggal 20 Desember 2017).

  1. LGBT dalam Perspektif Medis dan Psikologis

Pembelaan medis bahwa seorang homo itu bersifat genetik, sejak awal datang silih berganti, hingga Dean H. Hammer seorang ahli genetika, bersama tim penilitinya di Lembaga Kanker Nasional Amerika pada tahun 1993. Mereka mengatakan bahwa homoseksual, setidaknya, beberapa bersifat genetik. Dikatakan dari hasil penelitian silsilah keluarga yang dua atau lebih adalah gay, dan digabungkan dengan DNA homoseksual yang sebenarnya maka ditemukan adanya kemungkinan yang mempengaruhi orientasi seks seseorang. Dikatakan kemungkinan gen gay ini diwarisi dari dari garis ibu, sekalipun orangtuanya bukan homo. Dan hal ini juga bisa terjadi pada anak kembar sekalipun, yang salah satunya menjadi gay.

Para ilmuwan masih belum memiliki bukti yang tak terbantah, karena sangat terasa hasil penilitian ini masih banyak meninggalkan pertanyaan. Namun kaum LGBT telah mengklaim ini sebagai hasil final dan mempropagandakan bahwa homo adalah gen. padahal para peniliti ini sendiri mengatakan beberapa dari homo bukan semua homo. Dean Byrd seorang profesor Psikologi klinis Universitas of Utah School Medicine, tahun 2001 mengatakan, adanya unsur genetika yang membawa gay gen tidak otomatis membuatnya menjadi seorang homoseksual. Kecuali dia melampiaskan hawa nafsunya. Kesimpulan Hammer patut digugat.

Pandangan berbeda bertaburan dan kaum LGBT tentu saja memilih hasil penelitian yang mendukung mereka. Dan, andaikatapun suatu waktu itu diklaim benar, paling tidak ada fakta tersisa, yaitu ada gay yang bukan karena gen. siapa yang berhak memberikan lisesnsi tentang gay yang gen atau bukan? Dan bagaimana menilai mereka gay yang bukan gen. Ini juga berarti bahwa ada yang bukan dari gen gay telah menjadi gay, dan ini jelas berarti gay yang tertular.

Hasil yang pasti dari penelitian ini adalah adanya penularan sifat gay, sementara betul atau tidak karena gen masih bisa diperdebatkan. Pintu bagi kaum LGBT semakin terbuka ketika Obama presiden Amerika dari Demokrat yang memang liberal menyetujui pernikahan gay sehingga legal menurut UU. Kita perlu menyadari realita ini dan tidak memakan semua alasan pembenaran. Oleh karena itu sangatlah berlebihan jika alasan gen dijadikan argumentasi. Ini menyesatkan!

Pembelaan psikologis menunjuk kepada dikeluarkannya homoseksual dari DSM (Diagnostic and statistical Manual of Mental Disordes), pada tahun 1973 oleh APA,s (American Psychiatrick Association’s). DSM adalah daftar kelainan mental. Itu berarti homoseksual dianggap bukan kelainan, namun jangan lupa sebelumnya masuk kriteria penyakit kelainan mental.

Dr. Robert Spitzer seorang psikiatris dari Columbia University adalah tokoh penting yang berjuang menghilangkannya dari daftar kelainan. Namun pada tahun 2003 dia mempublikasikan penelitiannya terhadap 200 homo, yang ternyata menunjukkan keberhasilan perubahan orientasi seksual setelah menjalani terapi. Artinya seorang homoseks bisa menjalani terapi untuk menjadi normal. Jelas bukan bahwa ini bisa diterapi, bukan hakekat yang tak bisa berubah.

Dengan segera dia mendapat tekanan dari komunitas gay, dan akhirnya Spitzer mencabut kembali hasil penelitian yang dipublishnya. Spitzer dikritik atas sikap tidak profesionalnya itu oleh psikolog seperti; Jerry A, Elton L,Moose Anne, dll. Jangan lupa bahwa pendapat para psikolog soal homoseksual juga terpecah, dan patut dipelajari latar belakang dan argumentasi orang yang berteori sehingga kita bisa berpendapat objektif.

Membaca berbagai hasil penelitian dari berbagai perspektif disiplin ilmu oleh para ahli yang berbeda satu dengan lainnya sama banyaknya. Bagaimanapun juga tak bisa dipungkiri ini berkaitan dengan sikap pro dan kontra. Tidak sedikit para peneliti ternyata adalah seorang homo atau memiliki kecenderungan sehingga orientasi penelitian bisa jadi subjektif dan kehilangan sikap profesionalnya. Namun ada fakta yang tak bisa dibantah bahwa populasi penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) Aids tertinggi adalah mereka yang berperilaku homoseks. Dan dalam hubungan seks penularan Aids, adalah, mereka yang sering berganti-ganti pasangan. Namun yang tertinggi adalah mereka yang melakukan hubungan anal seks.

Terkait isyu LGBT yang marak di Indonesia sekarang, ada fakta yag sangat menarik, yaitu adanya dana Ratusan Milyar yang di siapkan oleh sebuah organisasi internsaional untuk meloloskan pasal untuk melegalkan LGBT di Indonesia,  hal itu di sampikan oleh Mahfud MD dalam acara ILC TV ONE beberapa waktu lalu, informasi tersebut bapak Mahfud peroleh dari perkataan bapak Jusuf Kalla selaku wakil Presdien RI sekarang.

Tentu hal ini akan menjadi anacaman yang serius bagi kita generasi muda dan masyarakat umum seluruh indoensia apabila gerakan itu berhasil masuk ke kalangan politisi dan partai politik dengan cara loby, semoga para bapak anggota dewan yang terhormat memiliki hati nurani dalam membela Negara bangsa ini dari kehancuran perilaku sex yang menyimpang.

Akhirnya, yang patut dimusuhi adalah perilaku LGBT nya, bukan orangnya. Namun memang sangatlah sulit menolong seseorang jika dia tak merasa butuh, apalagi jika niat itu dianggap menghina. Biarlah kita semua membuka pintu kembali, khususnya keluarga yang menemukan realita ini dilingkungannya. Jangan musuhi kaum LGBT, tetapi kasihi dan tolonglah mereka agar mereka sembuh menjadi manusia normal.

 

*Penulis : Ayopri Al Jufri adalah Anggota GP. Ansor Kabupaten Bondowoso

Tinggalkan Balasan