OPINI  

Peran Tokoh Agama Dalam Lintasan Sejarah Politik

Bondowoso.Opini,kabardaerah.com- Judul tulisan ini mungkin lebih tepat dikaji secara pajang lebar berupa kajian penelitian ilmiah baik Skripsi maupun Tesis atau Desertasi ilmu politik, namun saya (penulis) punya inisiatif membahas secara singkat, padat dan jelas, mengingat kajian penelitian ilmiah pustaka masih memerlukan waktu dan terikat pada tuntutan akademik.

Dalam perjalanan sejarah manusia tidak bisa dipungkiri interaksi antara manusia dengan politik, kerana politik adalah kebutuhan manusia dalam mencapai kepentingan berkelompok, entah itu politik menganut sistem barat maupun politik dalam sistem berbau agama yang di gadang-gadang seperti Khilafah misalnya menurut faham anti barat seperti ISIS dan Hizbut Tahrir. Kita akan lepas dulu tentang jenis sistem politik manapun, fokus dalam tulisan ini adalah membicarakan peran tokoh agama dalam lintasan Sejarah politik.

Sekitar tahun 2008 lalu, saya pernah mengikuti bedah buku yang di tulis oleh KH. Agus Sunyoto berjudul “Suluk Syeikh Siti Jenar”, di STAIN sekarang IAIN Jember, pembedah adalah penulis langsung. Dalam acara bedah buku itu Agus Sunyoto mengatakan bahwa kematian Syekh Siti Jenar ada kemiripan secara kronoligis dengan Husein Manshur Al-Hallaj, mereka sama-sama tokoh agama dalam kesufian, Syekh Siti Jenar mengusung jargon sufistiknya dengan slogan “Manunggaling Kawula Gusti” (Penyatuan Hamba dan Gusti (tuhan), sedangkan Al-Hallaj mengusung slogan “Ana Al-Haqq” (Akulah Sang Kebenaran), selain kesamaan slogan sufistik mereka berdua, kematian kedua tokoh agama itu sama persis dalam pandangan Agus Sunyoto, yaitu mereka berdua mati dalam sebuah hukuman eksekusi mati oleh penguasa.

Al-Hallaj mati ditangan penguasa dinasti Abbasiyah, sedangkan Syekh Siti Jenar mati di tangan Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang (menurut suatu versi), dan mereka berdua mati bukan semata-mata karena jargon sufistiknya yang dianggap menyimpang, namun meraka mati karena ada keterlibatan politik dalam menentang penguasa pada saat itu.

Berbicara agama dan politik memang sangat sensitif, saat issu agama ketika sudah di bawa pada ranah politik, maka yang akan terjadi adalah bencana sosial yang luar biasa, contohnya kasus yang menjerat Ahok, terjadi aksi demontrasi yang berjilid-jilid.

Diberbagai belahan dunia hingga sekerang peran tokoh agama sangat sentral dalam menentukan arah politik bangsa, suatu contoh Resolusi Jihad yang di keluarkan oleh Hadratu Syeikh Kiai Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah Belanda juga merupakan keterlibatan ulama selaku tokoh agama dalam politik dengan tujuan merdeka dari penjajahan. Pembantaian suku Rohingga di Miyanmar beberapa bulan lalu, juga ada indikasi keterlibatan tokoh agama Budha bernama Ahsinwuratu, dengan issu bibit teroris terhadap muslim Rohingga, pembantaian di lakukan secara masal oleh militer Miyanmar, sontak bencana itu mendapat kecaman dunia terhadap pemerintah Miyanmar yang di pimpin oleh Aunsansucie. Pemeritah Indonesia mengirim menteri luar negeri Retno Marsudi untuk menemui Aunsansucie agar segera menghentikan tindakan militer terhadap muslim Rohingga, alhamdulilla berkat dukungan masyarakat dunia Genosida itu sekarang sudah usai.

Sangat berat dan sangat sensitih ketika agama dibawa pada kepentingan politik, ISIS yang secara terang-terangan melakukan pembantaian yang dianggap bukan sealiran juga mengusung simbil dan atas nama agama dalam gerakan politiknya. Di Negara yang agamanya sangat kental, peran tokoh agama sangat diperhitungkan dalam sebuah kebijakan politik pemerintah, contohnya di Indonesia peran kiai sangat besar dalam menentukan arah politik pemerintah, dan lembaga Pendidikan Agama seperti pesantren di saat sekarang bisa dikatan sebagai komoditas oleh elit politik tertentu, maka sangat tepat sekali beberapa waktu lalu para kiai pengasuh pondok pesantren mengeluarkan fatwa, bahwa dilarang menerima bantuan dari seorang politisi nasional yang baru muncul dan juga baru mendirikan partai politik yaitu Harie Tanoe Sudibjo, yang mana berencana akan membantu pesantren-pesantren di seluruh Indonesia demi kemakmuran pesantren, dalam hal itu posisi kiai sangat tepat melakukan aksi penolakan, karena untuk menghindari agama dijadikan sebagai alat politik.

Ada sebuah anekdot baru yang berdar di media sosial mengatakan “Kalau sadah banyak politisi memakai peci, kalau sudah banyak politisi sering ke pesantren, kalau sudah banyak politisi sowan ke para kiai, kalau sudah banyak politisi mendadak bicara agama, itu tandanya hampir momentum PEMILU sudah dekat”, ada benarnya juga slogan tersebut mengingat memang telah menjadi pola lama para politisi mendekati tokoh agama untuk maraih simpati pemilih, mengingat populasi muslim di Indonesia mayoritas hingga sekarang, jadi jumlah muslim itu akan jadi nilai tawar mahal oleh para politisi dalam meraih kursi jabatan.

Beda Negara beda pola politik para politisi dalam menggapai perebutan kursinya, jika Indonesia suara muslim yang jadi rebutan, maka di negara yang mayoritas Kristen seperti Amerika dan Belanda misalnya, tentu yang akan menjadi komoditi politiknya adalah meraih sebanyak- banyaknya suara kaum Kristen. di belanda beberapa tahun silam ada seorang politisi bernama Geert Wilders membuat film dokumenter berjudul “FITNA” yang sengaja memojokkan Islam, dalam film itu di memuat ayat-ayat Al-Qur’an yang secara sepotong tentang jihad dan membunuh orang kafir, sontak dalam film itu terkesan bahwa agama islam adalah agama kejahatan dan mengajarkan kejahatan, bahkan film itu secara spesifik menuduh Islam adalah agama yang mengajarkan teror. Bagi masyarakat awam jika film itu ditonton langsung dan tanpa mengetaui motif si pembuat film maka akan terbawa pada doktrin dalam film tersebut.

Doktor Muniron (dosen tasawuf STAIN sekarang IAIN Jember) berhasil menggali secara mendalam tentang siapa Geert Wilders itu dan menggali secara teliti, dalam sebuah seminar dan nonton bareng film FITNA yang di selenggrakan oleh STAIN sekarang IAIN Jember menjelaskan, bahwa Geert Wilders merupakan calon kandidat gubernur di Belanda, dan dengan membuat film itu di harapkan dapat meraih simpati pemilih dari kuam Kristen, kerena dia telah berhasil memojokkan nama Islam. Jadi jelas intrik politisi yang mengatasnamakan agama itu memang merupakan pola lama dari semua Negara, meraih kursi jabatan bagi segolongan orang dengan cara menghalalkan segala cara adalah cara yang paling efektif dan cara paling efisien.

Kembali pada fenomena yang terjadi di Negara yang kita cintai, yaitu NKRI, peran para kiai dan ustad sangat besar dalam masa PEMILU, dan para tokoh agama itu menjadi aset besar para politisi yang haus kekuasaan, dengan modal pengaruh para kiai dan usttad yang di figurkan oleh masyarakat, para politisi dapat memperolah dukungan suara dalam jumlah besar dan diharapkan dapat memenangkan pertarungan politik dengan kubu lawan. Tidak heran juga jika kita menemukan beberapa Gus (putra kiai), bahkan juga kiai yang ikut meramaikan kontestasi PEMILU, Bahkan tidak heran juga kita temukan ada kiai dan ustad berkampanye di masa jelang pemilu.

Saya (penulis) sangat setuju dengan pernyataan cendikiawan muslim alm. Nurchlois Madjid (Cak Nur) yang mengatakan “Islam Yes Partai Islam No”, islam terlalu mulia untuk ditarik pada kepentingan politik yang hanya bersifat keduniaan. Dan saya juga sangat setuju kembalinya Nahdlatul Ulama’ (NU) pada Khittah, yang secara kelembagaan terlepas dari partai politik, karena sejak awal NU memang didirikan bukan untuk kepentingan partai politik, NU tujuan awalnya adalah mengabdi kepada umat dalam kepentingan agama dan sosial, dan saya sekali lagi juga sangat setuju kepada alm. KH. Abdurraman Wahid selaku inisitor membentuk partai politik dengan tujuan menampung suara NU secara politik di perleman, karena suara warga Nahdliyin mempunyai nilai tawar yang sangat besar dalam kancah politik negeri ini, jika suara NU tidak memiliki wadah, maka di khawatirkan suara Nu akan dipergunakan oleh oknum politisi yang tidak sejalan dengan NU yang mana memiliki tujuan mendakwahkan islam Rahmatan Lil Alamain. NU dan partai politik harus dipisahkan. Inisiatif yang hampir sama juga dimiliki oleh Amin Rais, yaitu mendirikan partai politik yang di harapkan menampung kepentingan warga muhammadiyah, namun lagi-lagi partai yang didirikan oleh Gus Dur dan Amin Rais itu terlepas dari jargon agama, kedua partai itu memilih haluan nasionalis daripada haluan agama, berbeda dengan sebuah partai yang diisyukan sebagai cabang Ikhwanul Muslimin (gerakan politik islam di mesir) yang secara tegas mendirikan partai islam di Indonesia, bahkan nama-nama politisinya juga meminta untuk diberi gelar ustad, walaupun bukan ustad, anehnya lagi ada beberapa kasus yang ditemukan oleh KPK dalam aksi korupsinya kader partai tesebut dengan percaya diri menggunakan istilah Berbahasa Arab, mungkin agar terkesan islami korupsinya. Sekali lagi konteks partai politik saya sangat sependapat dengan ungkapan Nurchlois Madjid “Islam Yes, Partai Islam No”, bisa jadi ungkapan itu dalam pandangan Cak Nur dapat merusak citra islam, seperti kasus penggunaan ayat Al-Qur’an dan Hadist dalam kepentingan politik.

Agama dan politik memang tidak bisa di pisahkan, maka issu agama sampai sekarang masih menjadi senjata empuk dalam mematahklan kubu lawan dalam politik, karena dengan issu agama itu di harapkan akan dapat mematikan kekuatan musuh politiknya, padahal itu salah besar, dalam agama itu masih banyak diskusi juga terkait interaksi sosial manusia, kebenaran agama yang berfifat final hanya pada ranah Aqidah dan Iman (hubungan manusia dengan tuhan), namun yang masih banyak diskusi dan perdebatan itu adalah yang bersifat kesosialan (politik misalya), jadi sangat salah jika menggunakan agama dalam berpolitik, karena sampai kapanpun perdebatan itu pasti ada dan tidak akan pernah final.

Sementara tulisan ini saya cukupkan demikian, kerena kajian ini hanya bersifat opini jadi tidak elok jika terlalu panjang membahasnya, dan kalau masih ada kesempatan lain akan saya lanjutkan bahasan ini dengan literatur yang lebih lengkap, syukur nanti bisa saya muat dalam bentuk buku. Semoga manfaat.

* Profil Penulis : Ayopri Aljufri
1. Alumni STAIN Jember (IAIN Sekarang)
2. Pembina YAYASAN ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN, Sekretariat Dusun Sletreng RT 04 / RW 02, Desa Kupang, Curahdami, Bondowoso
3. Anggota ANSOR Bondowoso

Tinggalkan Balasan