Aspal Yang Mengikis Kearifan Lokal

(Aspal Pengikis Kearifan Lokal) Oleh: Abdul Mu' in (Pemuda asal Desa Daleman Galis Bangkalan)

BANGKALAN.JATIMKABARDAERAH.COM, Opini- Sebagai salah satu manusia yang menikmati masa kecilnya di salah satu Kepulauan Nusantara, tepatnya pulau madura. Tentunya, ada beragam kenangan yang terkam dalam memori ini. Entah ingatan pertengkaran antar sesama teman bermain, asyiknya bermain permainan tradisional, kenangan ketika berangkat bersama-sama teman sejawat ke sanggar-sanggar guru ngaji lokal. Serta banyak lagi kisah yang turut membentuk kepribadianku yang akan menginjak dewasa ini. Bahasa kerennya adalah masa pubertas.

Salah satu yang terkenang dulu tentunya adalah kearifan-kearifan lokal berupa peraturan yang disepakati bersama, meskipun tidak tertulis antar masyarakat sebagai bentuk dari kedisiplinan bersosial, dan tentunya menjadi ukuran baik-buruk nya citra seseorang dimata penduduk. Ada banyak sekali kearifan lokal tersebut. Ragamnya meliputi, jikalau salaman dengan guru, harus cium tangan, kalau memasuki sanggar harus lepas alas kaki dan kalau ketemu orang di jalan harus pamit dan lain-lain.

Hal yang akan menjadi pembahasan saya adalah mengenai tradisi di Madura yang mengharuskan orang yang melintasi jalan pamit atau melafalkan kosakata permisi sewaktu bertemu dengan orang yang ada di bahu jalan, baik bapak-bapak yang sedang nongkrong, ibu ibu yang sedang ber gosip ria di warung pinggir jalan dan petani-petani pengambil rumput di pematang sawah pinggir jalan. Terkenang di benak ini sebuah kegiatan rutin mengucapkan frasa kata gelenun (permisi) ketika berangkat sekolah madrasah, berangkat mengaji ketika matahari mulai senja, bahkan ketika mengail sepeda ontel waktu mau balapan. Waduuh, sungguh masa-masa yang penuh tantangan.

Dan kini, setelah 400 ribu tahun manusia menemukan api, setelah Stave Jobs mengagas smart phone, setelah Google lahir di muka Bumi dan segala bentuk kemajuan perkembangan spesies manusia mengelola bumi. Dari serangkaian gerak inovasi menuju inovasi lainnya. Karena satu temuan menunjukkan manusia pada temuan lainnya, makanya semakin kedepan, semakin cepat perkembangan manusia. Menurut Dan Brown, butuh satu abad ke balakang bagi orang yunani kuno untuk melihat peradaban yang berbeda. Tapi, sekarang kita hanya butuh menoleh kepada satu generasi kebelakang untuk melihat peradaban berbeda.

Salah satu dari buah kemajuan yang Madura rasakan adalah perbaikan jalan-jalan menuju plosok-plosok desa yang menghubungkan desa satu ke desa lainnya. Dan memudahkan mobilisasi penduduk desa pergi kondangan dengan motor-motor sederhananya dan tidak lupa pula mobil-mobil mewah kepala Desa dan Juragan rantau yang sukses. Karena dengan adanya bentuk jalan yang terdiri dari batu kerikil, pasir dan bahan agregat yang direkatkan oleh cairan semen aspal, cerita jalan berlumpur dan efek goyang-goyang akibat jalan yang tidak rata karena hanya ada susunan batu balok di desa telah menjadi kenangan.

Sejalan dengan perubahan jalan, maka pertumbuhan kendaraan di Madura juga meningkat secara signifikan. Menurut data yang tertera di kompas.com tahun 2016 dari kepala krops polisi lalu lintas (Kakorlantas) menyebutkan total keseluruhan kendaraan nasional berjumlah 124.348.224. data itu terhitung Juli 2016 pada kendaraan yang mendaftarkan registrasi. Bayangkan sebagian dari kendaraan itu dan ditambah kendaraan motor yang bodong menghiasi jalan-jalan desa dari ragam pengendara. Dari anak lelaki yang kebut kebutaan menikmati adrenalin, sampai kakek-kakek yang sukses belajar mengendarai motor, dari mobil pengangkut ibu-ibu berbelanja ke pasar tumpah, sampai mobil sport kepala desa. Hampir tidak ditemui seorang berjalan kaki di jala desa, kecuali bapak-bapak yang lagi menuntun sapi-sapinya membajak sawah dan ibu-ibu pemburu rumput untuk makan malam Sapi.

Efek domino dari adanya perubahan ini tentunya pada pergeseran sikap terhadap peraturan tidak tertulis yang kita kenal sebagai kearifan lokal yang telah saya ceritakan diatas, jadi sangat jarang sekali ada pengendara mengucapkan permisi pada petani di pematang sawah dekat jalan dari atas kendaraan nya sewaktu pengendara tersebut berada di kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Ini baru pengendara motor, lain cerita dari pengendara mobil, yang jangankan pamit,  Melepas senyum aja tidak lantaran terhalang oleh kaca mobil. Paling banter kalau membunyikan klakson atau mengangguk kepala sebagai isyarat, yang mana cara ini sering tidak ditanggapi oleh penduduk di pinggir jalan.

Lantas, apakah ini sebagai bentuk kemunduran moral? Sejauh penilaian subjektif dari saya, fenomena ini bukan kemunduran moral. Karena disadari atau tidak, pola pikir masyarakat telah berubah juga. Masyarakat tidak menganggap lagi pemit sebagai bentuk kearifan lokal dan bagi pengendara yang tidak pamit tidak di anggap sebagai pembangkangan dan dia tidak menerima sangsi sosial berupa gunjingan atau apapun. Karena tidak pamit pun dianggap lumrah. Yang paling penting adalah penduduk sekitar jalan tidak merasa tersakiti oleh prilaku tidak pamit bagi pengendara yang lewat. Beda hal nya dengan dulu semasa saya kecil, masyarakat yang ada di pinggir jalan merasa tersinggung jika ada orang lewat tidak pamit. Nah, inilah yang disebut hilang hukum formatif, karena hukum formatif berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. Yang abadi adalah nilai subtansi dari hukum formatif tersebut.  Nilai subtansi dari tradisi pamit tersebut adalah membuat orang dibahu jalan merasa dihargai dan tidak menyinggung perasaannya.

Mungkin tradisi pamit sudah bergeser tapi tidak menyinggung perasaan orang yang dibahu jalan dan merasa orang lain dihormati masih abadi. Tidak menyinggung dengan knalpot memekakkan telinga masih abadi. Di Jalan raya, membuat orang lain merasa dihargai dapat diwujudkan dengan mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan tidak membahayakan pengguna jalan dan lain-lain.

Penulis : Abdul Muin (Pemuda Asal Daleman, Galis, Bangkalan, Madura).

Tinggalkan Balasan