OPINI  

Blater, dan Stigma Negatif

Oleh : M. Husni Syakur

KABARDAERAH.COM – Salah seorang teman pernah bertanya kepada saya, apakah orang blater itu pernah dan harus membunuh terlebih dahulu? Sontak, pertanyaan itu membuat saya kaget, sebab hal itu mencerminkan pandangan negative pada orang yang sudah dipandang sebagai tokoh blater.

Memang, banyak cerita, beberapa orang pernah menyaksikan langsung jika seorang yang pernah membunuh memiliki tempat atau kasta tersendiri dalam tatanan sosial masyarakat. Terkadang, dia lebih disegani dan ditakuti. Tapi apakah seorang yang pernah membunuh lantas di sebut blater?

Tidak, blater tidak lantas identik dengan tindakan yang amoral, bahkan melanggar hukum. Blater sendiri memiliki beberapa versi dan pengertian, baik secara istilah dalam beberapa buku dan istilah yang turun temurun diceritakan oleh para sesepuh di Madura.

Blater merupakan suatu golongan sosial yang menjadi orientasi kepemimpinan masyarakat. Blater dapat menjadi pusat orientasi kepemimpinan masyarakat karena mereka memiliki keberanian dan kekebalan diri (kelebihan ilmu kanuragan), sehingga disegani oleh masyarakat sebagai salah satu ikon sosial masyarakat Madura. Blater tidak bisa dipisahkan dari lintasan sejarah yang melatarbelakangi kemunculannya.

Dunia ke-Blater-an yang dikenal sejak lama merupakan bagian dari fenomena yang menjadi ciri khas masyarakat Madura. Hal itu juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dengan konteks sosial dan sejarah yang berbeda pula.

Istilah Blater di Madura yang telah mencerminkan sebuah nama kelompok Jawara (jagoan), akan berubah nama (sebutan), ketika ikon sosial seperti blater berada di pulau lain seperti di tanah Jawa, Sunda, Sumatera, Makassar, dan lain sebagainya, namun secara esensial adalah sama.

Fenomena ke-Blater-an dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat desa. Karena itu, konstruksi tentang keblateran sangat terkait pula dengan konstruksi jagoan di dalam masyarakat.

Blater adalah orang kuat, Kemunculan kaum Blater sebetulnya sudah ada pada zaman kerajaan-kerajaan yang tersebar di pulau Madura, atau bahkan zaman kolonial Belanda, dan yang paling terkenal adalah sejak munculnya sosok Sakera di tengah-tengah masyarakat dalam membela orang kecil. Sejak itulah nama Sakera dan Blater semakin dikenal. Hal ini dikarenakan orang tersebut mempunyai kelebihan “khusus” dibandingkan dengan orang lain, dan ia bisa masuk kesemua jaringan yang ada di dalam masyarakat.

Lain dari beberapa pengertian yang ada dan tersajikan secara runtut di beberapa buku tersebut ada beberapa celoteh dan cerita yang sengaja turun temurun bersambung dari beberapa keturunan yang mana cerita tersebut belum terbukukan.

Cerita yang mengharuskan jika seorang rakyat biasa ingin menjadi Blater atau dalam arti ingin naik derajat sosial maka harus pernah melakukan lima hal, yakni, membunuh, berjudi (termasuk sabung ayam), main perempuan(punya istri banyak), mencuri, dan moremoan (ludruk dalam tradisi jawa).

Jika seorang rakyat biasa pernah dan sudah melakukan salah satu lima hal tersebut dan tidak melakukan nya lagi maka menurut kebiasaan yang ada orang tersebut lantas akan menjadi atau di akui sebagai blater, namun orang tersebut tidak diakui blater ketika sedang atau masih melakukan lima hal tersebut.

Namun, bagi saya beberapa cerita dan istilah yang ada di buku atau cerita yang berkembang di masyarakat itu tak semua nya menjadi benar, sebab blater bukan hanya sebuah gelar atau sifat bahkan sebutan, tetapi blater lebih menunjukan jiwa sosial yang tinggi.

Jiwa yang tak pandang bulu harus berteman dan bergaul dengan siapapun, jiwa tak berpikir rugi jika harus menolong orang lain, jiwa kesederhanaan sehingga diterima disetiap kalangan, baik itu kiai atau bajingan. Jiwa semacam itulah yang membuat Blater dapat di terima semua kalangan, baik itu kalangan putih (priyai) maupun hitam (preman).

Blater juga tidak memiliki syarat seperti yang melanggar norma adat atau norma hukum pidana, karena jika demikian, anak cucu kita kelak harus melakukan tindakan melanggar hukum terlebih dahulu agar dapat disebut orang blater.

Blater adalah pola hidup dimana seorang yang biasa pun dapat berarti luar biasa jika tau dan mengetahui apa dan dimana dia berada sehingga orang tersebut dapat menempatkan posisi seperti apa yang semestinya di lakukan (lakonah lakoneh, kennengah kennengih).

Jadi bisa saya ambil kesimpulan bahwa blater sejatinya adalah orang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Blater adalah orang yang memiliki jiwa kesederhanaan, sopan santun dan tetap pada koridor norma yang ada.

Jiwa kesederhanaan itu dapat tercermin dengan menempatkan posisi sesuai dengan kedudukannya, tetapi tidak lantas hanya bergaul dengan orang yang satu posisi dengannya, melaikan dapat menyatu dan bergaul dengan posisi orang dibawahnya maupun diatasnya, tanpa mengabaikan kelas sosial yang ada. Jadi hanya itulah syarat orang agar dapat disebut sebagai orang blater.

*) Penulis adalah pemuda desa Kecamtan Konang, Kabupaten Bangkalan.

Tinggalkan Balasan