OPINI  

Rokok dan Korek Bisa di Beli, Persaudaraan Harga Mati

Oleh: Syahril Abdillah

KABARDAERAH.COMPada suatu hari berkumpullah generasi lintas usia disebuah gubuk sederhana tanpa undangan resmi. Satu persatu menunjukkan senyuman diantara yang lain. Menandakan hubungan mereka baik satu sama lain.

Jabatan tangan tak dilupakan waktu mereka datang. Menandakan tali silaturrahim dan persaudaraan tetap erat dan melekat. Walaupun dilihat dari jalur nasab atau dari sisi keluarga dekat (saudara kandung atau tretan red), mereka tidak ada ikatan darah yang dekat. Walupun demikan, satu sama lain bagaikan saudara.

Mungkin hal itu bentuk tali pengikat sebagai warga negara yang sama-sama berada dibawah naungan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Atau karena seagama, satu suku, satu daerah, dan satu bahasa. Kalau tidak, mungkin karena sama- sama manusia yang harus menjaga, melindungi, bahkan saling merangkul satu sama lain dalam situasi dan kondisi apapun.

Canda dan tawa terlihat dari mereka saat berkumpul di gubuk yang lumayan cukup untuk menampung belasan orang ketika dikira-kira. Bungkusan rokok dan korek dikeluarkan dari saku masing- masing menjadi hidangan yang cukup menarik pemandangan.

Uniknya, walaupun satu sama lain membawa rokok, namun diantara sekumpulan orang itu saling menawarkan rokoknya dan terlihat diantara satu sama lain saling menukar rokoknya untuk dinikmati. Maklum karena sama-sama ahli hisab maka rokok tak pernah ketinggalan.

Percakapan mulai mengalir. Membahas tentang kondisi sosial, pemuda, ekonomi, moral, pendidikan, pekerjaan, bahkan sesuap nasi yang ingin dimakan pada esok harinya. Percakapan itu pun penuh canda dan gurauan yang mengundang tawa. Kenapa tidak? Walaupun pembahasannya tegang, namun diantara mereka saling menimpali dengan bahasa yang mengundang tawa. Mungkin biar gak cepat tua.

Hampir satu jam gubuk itu ramai dengan perbincangan (ngalur ngidul kata orang jawa red). Hingga akhirnya pembahasannya mengerucut terhadap pemimpin. Entah apa yang mendorong pembahasan itu dibuka. Namun ketika bicara sosok pemimpin tampak ada yang menarik untuk di bahas.

Salah seorang yang cangkruan di kardu kecil itu bernama Adi mengatakan dengan tenang dan santai. ‘Oh pemimpin, kalau pemimpin kan orang tua ( reng seppo red’). Ucapan itu membuat semua orang yang duduk di gubuk terdiam. Dilanjutkanlah ungkapan tadi. ‘Mun reng seppo jiah biasanah koduh bisa sekabbinah’ (kalau jadi orang tua harus bisa semuanya red).

Benar tidak? Tanyanya kepada semua yang duduk. Benar!. Walaupun gak bisa harus berusaha untuk bisa. Timpal teman di dekatnya bernama Rohman. Kalau begitu kita harus bisa slektif dan pandai menjadikan seseorang sebagai pemimpin.

Nyautlah Lilur dengan gayanya kalem. Katanya sebentar lagi ada pilkada ya di sini. Benar gak? Rohman menjawab dengan tegas. Benar brow. Nanti kita akan memilih Calon Gubernur dan wakilnya. Juga Bupati dan wakilnya di Bangkalan. Oh gitu ya. Ucap Lilur. Rohman pun mengatakan bahwa pilkada akan dilaksanakan pada 27 juni 2018.

Lalu tiba-tiba datang kakek tua dengan pakaian sarung dan kopyah hitam. Diketahui kakek itu bernama Saridin. Sang kakek melortarkan pertanyaan kepada para penikmat rokok yang sedang duduk di gubuk. ‘ Cong, alako apah, abahas apah, mik corak serru?’ (Lagi apa, membahas apa, kok kayaknya seru?.

Pertanyaan kakek itu dijawablah oleh mereka dengan halus dan lembut. Ini kek, kita bahas pilkada yang tinggal beberapa hari lagi. Jawab Rohman dengan penuh hormat. Karena ternyata sang kakek itu salah satu sesepuh yang di segani di tempat yang penuh dengan bebatuan dan tebing itu.

‘Pilkada! Apa itu pilkada? Saya gak tau conk’. Kakek itu pun bertanya-tanya. Lilur pun menjelaskan. Pilkada itu kek, pemilihan kepala daerah. Nanti pada tanggal 27 Juni kita akan nyoblos calon Gubernur- Wakil Gubernur dan Bupati- Wakil Bupati. Dan di Bangkalan ini kek, kita akan milih Bupati dan Wakil Bupati Baru. Jawab Lilur dengan ramah.

‘Oh, itu ya. Berarti sama dengan kayak pemilihan Klebun (Kepala Desa red) ya? Tanya sang Kakek. Mereka menjawabnya degan mengangguk. Kakek pun paham dan termenung. Entah apa yang difikirkan. Lalu sang kakek meminta rokok sebatang. Kebetulan sang kakek lebih suka rokok merek Surya Gudang Garam. Merokoklah sang kakek sambil tersenyum.

Berselang beberapa detik sang kakek mulai berbicara kembali. Memilih pemimpin itu gampang-gampang sulit dan sulit-sulit gampang. Ucap sang kakek sambil menarik nafas. Lilur batuk. Lalu mengajukan pertanyaan kepada sang kakek. ‘kek, kenapa begitu, bukannya kita tinggal nyoblos orang yang kita anggap pantas menjadi pemimpin?. Si kakek menjawab. ‘Iya benar, namun tak segampang kita bicara’. Jawabnya sang kakek.

Lilur terdiam. Kakek itu melanjutkan ucapannya. Semua orang bisa jadi pemimpin dan dipercayai memegang amanah. Namun belum tentu bisa memimpin dan menjalankan amanah. Ha itu pasti melalui hiruk pikuk dan tidak lepas dari berbagai gejolak. Tapi kita butuh pemimpin.

Ucapan sang kakek bikin bingung para pendengarnya yang usianya beda jauh dengan sang kakek. Tak ada pertanyaan kembali yang dilontarkan kepada kakek. Laki-laki tua renta itu hanya senyum. Lalu berkata lagi. ‘Ingat nak, amanah itu beban, dan harus dipertanggung jawabkan. Tak hanya disini (dunia) di akhirat juga.

Sang Kakek melanjutkan. Kalau diantara kalian ada yang dipastikan jadi pemimpin nantinya jangan sampai melihat keatas terus. Lihatlah kebawah sekali-kali. Biar tau. Jangan kayak saat pakai sandal jepit. Kalau tidak membutuhkan malah gak diingat. Malah kadang lupa naruhnya dimana.

Lalu sang kakek mengatakan kembali. Ayo kita pilih pemimpin yang dianggap baik untuk masa depan bersama. Disamping itu kita tak usah ribut. Kalau calon pemimpin ini baik semua pilihlah sesuai hati nurani kalian. Semoga saja diantara yang terpilih mampu menjadikan daerah ini khusunya bernilai dan memberi manfaat kepada semua msyarakat yang sifatnya tidak sementara. Bahkan jangka panjang dan bisa dirasakan oleh anak cucu kita.

Dan yang terakhir ini yang sangat penting ucap sang kakek. Dukunglah dan pilihlah calon pemimpin kalian. Tapi jangan sampai ribut apalagi memecah belah persaudaraan kalian yang di bangun sejak kecil. Sehingga kerukunan terpecah belah. Apalagi sampai mengalirkan darah. Itu gak baik.

Pemimpin itu harus bisa mengemban amanah dan berusaha sekuat tenaga agar rakyatnya merasakan masa kepemimpinannya bernilai bahkan dikenang selamanya. Bukan sebaliknya. Menang kalah dan menang hal biasa dalam kontestasi. Tapi jangan sampai menang menjadikan jumawa. Dan kalah dijadikan bahan dendam kusumat.

Hidup cuma sekali. Gak usah mengorbankan nyawa gara-gara kepentingan yang sifarnya duniawi. Ucap sang kakek sambil berusaha berdiri dan pamit untuk pulang. Semua yang ada di gubuk itu satu persatu jabatan tangan dengan kakek.

Kalau difikir-fikir, ngapain ribut ribut soal itu ya! Ucap Rohman. Benar banget jawab yang lainnya. Rohman pun berkata ‘Jangan tukar persaudaraan ini akibat menang dan kalah urusan Pilkada. Kita dukung masing-masing paslon yang kita anggap pantas dengan cara yang baik. Kita punya pilihan masing- masing. Mari kita pilih dengan jujur, adil dan rahasia. Tanpa menjelekkan satu sama lain. Benar itu’. Jawablah mereka serentak.

Rokok dan korek bisa dibeli, namun saudara gak bisa dibeli dan dijual. Mari jangan sampai kita terpecah karena beda dukungan. Siapapun pemimpin kita, maka harus legowo. Semua pasti baik. Namun takdir belum berpihak kalau ada yang kalah. Tegas Rohman sembari menutup percakapan. Akhirnya cangkruan itu diakhiri dan mereka jabat tangan satu sama lain dan bergegas untuk melanjutkan aktifitasnya masing- masing.

Penulis: Pemuda Pagunungan

Tinggalkan Balasan